Permasalahanku masih sama seperti kemarin. Aku belum bisa menemukan akhir dari ceritaku. Padahal aku sudah menonton beberapa film, membaca novel, webtoon, berharap menemukan inspirasi namun tidak berhasil.
Bahkan duduk di balkon, menikmati cahaya lampu dari gedung pencakar langit di tengah malam juga tidak membuahkan hasil. Di layar laptopku hanya ada kertas putih yang satu huruf pun tak ada.
Aku menghela napas.
“Lo ngapain?”
“Argh!” jeritku namun di detik berikutnya aku sadar mengenali suara barusan. Aku memegang dadaku lalu berbalik. Kak Wira berdiri di belakangku, bersandar di pintu, persis yang dilakukannya kemarin. Tapi kali ini penampilannya jauh berbeda. Tentu saja, orang mana yang terlihat rapi dan segar begitu bangun tidur.
Aku berusaha menormalkan detak jantungku sebelum menjawab. “Nulis. Lo enggak kebangun karena angin masuk, kan?”
“Kamar gue ada pintunya kalau lo lupa.”
“Siapa tau anginnya masuk lewat celah pintu.”
Tiba-tiba Kak Wira menunduk, menyejajarkan wajahnya denganku. “Lo bukan setan yang lagi nyamar jadi Ariel, kan?”
Entah mungkin karena buntu atau pusing dengan akhir ceritaku, kedua tanganku spontan terangkat. Lalu tersenyum miring sambil memiringkan kepalaku. “Aku hantu hihihi.”
Tidak ada reaksi. Kak Wira meluruskan kembali tubuhnya. “Kenapa enggak nulis di kamar?”
Apa yang barusan aku lakukan? Manusia tanpa emosi ini mana mungkin takut, mungkin sekalipun dia bertemu setan asli, yang ada setan itu yang akan kena semprot.
“Nyari inspirasi,” jawabku acuh tak acuh.
“Di sini?” Kak Wira mengedarkan pandangannya. “Enggak ada apa-apa yang bisa dilihat.”
“Terus gue mesti ke mana?”
“Tulisan lo memangnya kenapa sampai harus cari inspirasi?” tanyanya sembari duduk melantai di ambang pintu.
Kenapa dia malah duduk di sini? Bukannya kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya? Aku ke sini untuk mencari inspirasi, bukan teman bertengkar. Mendekam di kamar ternyata jauh lebih baik.
Aku berdeham lalu menjawab, “Gue buntu, enggak tau nulis apa.”
Kak Wira menoleh dan menatapku serius. “Bagian mana?”
“Endingnya.”
“Mana sini coba gue lihat.” Kak Wira mengulurkan tangannya.
Aku segera memeluk laptopku. “Enggak!”
“Gimana orang lain bisa suka sama karya lo, kalau lo sendiri enggak pede nunjukinnya.”
Jika itu berhubungan dengan Kak Wira, memang sudah seharusnya aku berpikir dua kali, tiga kali, bahkan empat kali. Aku menatapnya dan laptopku bergantian, aku ragu tapi Kak Wira juga tidak menyerah. Tangannya masih terangkat, menunggu aku menyerahkan laptopku.
Kak Wira mengangguk sekali. Akhirnya aku menyerahkan laptopku dengan berat hati.
Begitu laptopku berada di pangkuannya, Kak Wira diam dan fokus membaca di sana. Aku meneguk salivaku susah payah ketika melihat kernyitan samar muncul di dahinya. Perasaanku mulai tidak enak.
“Chapter 125? Ini sekuel?” tanya Kak Wira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Aku menggeleng meski dia tidak melihatku. “Itu dari satu cerita,” jawabku pelan.
Dahinya makin bergelombang, belum lagi matanya yang menatap tajam ke layar. “125? Ini novel atau apa? Bisa-bisanya lo nulis sampai ratusan! Ini udah setara tiga cerita!”
Lihat, kan?
Semoga telingaku tidak berdarah. Inilah alasanku menolak memperlihatkannya pada Kak Wira, bukan karena aku tidak percaya diri dengan ceritaku, tapi komentar yang keluar dari mulut berbisanya. Terlebih dia seorang editor yang tahu betul bagaimana wujud naskah yang baik dan benar.
“Hampir semuanya dialog, minim narasi. Ini lebih mirip dua orang yang lagi chat-an.” Kak Wira geleng-geleng. “Enggak ada rasanya, cerita lo hambar.”
Mataku memang tidak meneteskan air mata, tapi hatiku yang menangis sekarang. Baru kali ini ada yang berkomentar teramat jujur tentang ceritaku.
“Untung tanda bacanya enggak ada masalah,” gumamnya.
Walau hatiku tercerai-berai, aku berusaha mengulas senyum kecil. Anggap saja ini demi kebaikanku dan kemajuan kemampuanku dalam menulis cerita, jadi terima saja komentarnya.
Kak Wira mengembalikan laptopku. “Jadi lo bingung sama endingnya?”
“Sebenarnya udah, akhirnya happy ending. Tokoh utama bakal nikah, tapi gue bingung gambarin adegannya biar enggak pasaran.”
Kak Wira mengalihkan pandangannya ke depan kemudian berujar pelan, “Happy ending enggak harus selalu nikah.”
Aku termangu mencerna kata-katanya. Berulang kali kuulang dalam kepalaku. Dua kali, tiga kali, empat kali, hingga ujung bibirku terangkat. Aku paham maksudnya. Mendadak jalan yang sebelumnya buntu, berubah menjadi jalan lurus dengan tiang lampu yang menerangi di sepanjang sisinya.
“Justru ending yang tragis lebih membekas,” lanjut Kak Wira.
Aku mengangguk setuju. Mengingat cerita, film, atau drama yang kunikmati berakhir menggantung atau tragis, jujur memang butuh waktu untuk benar-benar bisa melupakannya. Tiga hari perasaanku hampa dan kosong memikirkan akhirnya.
“Iya, tapi gue bakal didemo.” Aku tertawa pelan. “Baca chapter ratusan cuman buat ketemu sama ending yang enggak mereka mau.”
“Penulisnya lo, bukan mereka,” sahut Kak Wira.
Kak Wira menoleh hingga mata kami bertemu. Ternyata tidak semua yang keluar dari mulutnya menyakitkan, ada juga yang akhirnya membuatku sadar. Aku tersenyum tanpa sadar karena merasa berterima kasih padanya.
Kak Wira balas tersenyum, namun hanya sekilas. Ekspresinya kembali ke setelan pabrik. “Lagian siapa yang nyuruh lo nulis sampe ratusan?!”
Wah, ada ya orang yang suasana hatinya bisa berubah dalam sekejap. Tidak ada gunanya aku tersanjung sebelumnya. “Ketentuan platform-nya gitu, Kak!”
“Cari platform lain lah!”
Aku mengernyit. “Kenapa lo yang merintah gue?”
“Itu namanya saran.”
“Saran sama marah-marah lo enggak ada bedanya, Kak.”
Kak Wira berdeham, membuang pandangannya. “Yang tadi saran, bukan marah-marah.”
Jangan-jangan dia ada masalah sama Bambang, makanya dari kemarin mood-nya tidak menentu. Wajar sih, dalam percintaan kan memang ada saatnya bahagia, ada saatnya masalah datang.
Tapi bukan berarti marahnya dilampiaskan ke aku. Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan menatapnya serius. Meski tidak banyak pengalaman dalam percintaan, setidaknya aku sudah banyak membaca cerita dan menonton film bergenre romantis.
“Kak, lo kalau mau cerita, gue siap kok dengernya.” Hitung-hitung sebagai balas budi karena memberiku masukan atas ceritaku. Kali ini biar aku jadi tempatnya mengeluarkan keluh kesahnya.
Kak Wira sejenak diam. “Cerita apa?”
“Emm, masalah lo,” kataku hati-hati.
Melihat Kak Wira diam, aku memilih melanjutkan. “Sama Bambang misalnya.”
Hening.
Kak Wira menyugar rambutnya lalu tertawa keras, tapi kedengarannya bukan karena ada sesuatu yang lucu. Tawanya menyeramkan. Kedua tanganku perlahan memeluk laptopku sambil mengalihkan pandangan.
“Ariel, gue normal,” ucap Kak Wira dingin.
Aku tidak berani menoleh dan hanya mengangguk.
Kudengar Kak Wira menghela napas. “Ada saatnya gue buktiin ke lo kalau gue normal.”
Mataku terbelalak. Maksudnya apa? Aku berbalik cepat namun di saat bersamaan Kak Wira bangkit meninggalkanku yang mematung. Firasatku mengatakan aku dalam masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...