Beberapa orang pria tegap berseragam mengangkat tinggi senjata mereka. Kami bertiga saling melirik satu sama lain. Airin menelan ludah, gelisah. Sedangkan Aiden menatap lurus datar, tak bergerak seinci pun, dia bahkan tidak menunjukkan raut wajah takut. Seolah siap untuk menjadi tameng bagi kami berdua.
"Seekor domba melepaskan ikatannya, jika kau tidak keluar maka kami akan menahan semua orang yang ada sekarang!"
"..."
Aktivitas yang awalnya ramai mendadak berhenti.
Tak ada seorang pun yang menyahut, semuanya diam bagai mematung. Enggan untuk mengaku, tentu saja... penjahat mana yang akan menyerahkan dirinya sendiri untuk di tangkap? jika begitu, mungkin sel tahanan sudah dipenuhi oleh tikus-tikus pengerat.
"Keluar! kami memberimu kesempatan hingga hitungan ketiga."
"..."
"SATU!"
"..."
"DUA!" Pria itu berteriak dengan suara lantang, rahangnya keras dengan alis mata yang tajam, bagai singa yang siap mengaum dan menggertakkan gigi kepada musuh-musuhnya.
"..."
Lagi-lagi tak ada yang berani menyahut, menundukkan kepala di hadapan para petugas. Kekacauan semacam ini sebenarnya sudah sering terjadi. Seorang budak yang kabur dari penangkaran. mereka di panggil sebagai Domba yang melepaskan ikatan (kabur).
"Permisi! saya mendapatkannya!! tuan! lihat dia." Seorang pemuda keluar dari kerumunan, mengapit leher seseorang yang memberontak untuk lepas. Semua mata tertuju padanya, tatapan penuh penasaran itu terfokus pada satu titik. Orang-orang mulai berbisik.
"LEPAS! LEPASKAN AKU. AKU TAK INGIN KEMBALI KEPENJARA PENYIKSAAN ITU LAGI," Hamba itu berusaha memberontak. Namun percuma saja, kekangan lehernya sangat kuat hingga jika dia terus meliar akan membuatnya tercekik.
"Tolong... aku tak mau lagi..." Lirihnya sendu. Ekspresi yang menyedihkan, bahkan aku tidak bisa menebak penyiksaan macam apa yang ada di penangkaran.
Aku memang tak pernah datang berkunjung, tempat itu bukanlah tempat yang bisa di akses semudah yang kau bayangkan. Untuk menjaga martabat, bahkan kami tanduk perak pun tidak di izinkan untuk merkunjung. Bahkan untuk sekedar berjalan-jalan kesana pun sangat sulit. Hanya para petugas sajalah yang di izinkan untuk masuk dan mengasuh mereka di bawah naungan penguasa.
Sang ketua mengayunkan tangannya, memberi aba-aba kepada bawahan yang lain. Dua orang yang berdiri di belakang sang ketua lansung mengerti dan membendung Hamba itu (tanduk kayu).
Dia masih terisak sembari para petugas menyeretnya dengan kasar. Aku bisa melihat sebulir air mata yang jatuh di pipinya. Sedang yang lain hanya melihatnya datar tanpa belas kasihan.
"Ahh~ itu tadi sangat menegangkan, aku bahkan tidak berani bergoyang bahkan sedikit. Tubuhku terasa benar-benar kaku!" Aiden melenguh merenggangkan tubuh.
"Merusak suasana saja... kirain ada apa" Keluh Airin sambil memelintir rambutnya yang tergerai.
"Sudah lah, ayo segera kembali ke mobil... Este pasti mencari kita"
"Sebentar, aku ingin menghabiskan minumanku terlebih dahulu. Rasanya akan berubah tawar jika esnya mencair terlalu banyak"
𓄃 𓄃 𓄃
Lampu kuning menyorot aspal. Sunyi dan tenang. Semuanya telah terlelap, pukul sebelas malam. Kami baru saja keluar dari kemacetan, kemungkinan sampai adalah subuh. Aku termenung, suara alunan dari permainan musik klasik yang diputar menjadi penghibur tersendiri untukku. mungkin karena sudah terbiasa tidur larut malam jadi aku tidak merasa begitu mengantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My fragile little horn
Fantasyrasanya baru kemarin, ketika dia masih memanggilku 'mama' dengan suara kecil nya, dan tangan kecil itu memeluk pinggang ku bahkan ketika aku berusaha untuk menolaknya. * tolong katakan padaku, orang tua mana... yang tega melihat anaknya sendiri aka...