12°

12.8K 572 1
                                    

"Kak," panggil Aya pelan.

Ia menempelkan pipinya pada pipi Samuel yang hangat. Lelaki itu sama sekali tidak terusik dengan kegiatannya, meski tengah fokus dengan buku latihan soal.

"Dua bulan lagi kamu lulus." Sedih Aya bisa Samuel rasakan. Ia sedikit merasa bersalah akibat rencana kuliahnya di luar negeri.

Samuel menghentikan pergerakannya. Perlahan ia menjauhkan wajah dari jangkauan Aya. Kedua tangannya kini sudah berada di bahu gadisnya.

Aya terus menundukkan kepala. Tidak berani menatap wajah Samuel yang akhir-akhir ini terlihat sangat cuek dan acuh.

"Apa yang lo takutin?"

Aya bungkam. Lidahnya kelu. Sebenarnya banyak yang ingin ia ucapkan. Tapi mengapa selalu begini? Mati kutu berhadapan dengan Samuel.

"Lo takut gue berpaling?"

Samuel semakin dalam menelisik wajah Aya yang gelisah. Perlahan ia menaikkan dagu Aya dengan wajahnya yang belum usai berpaling ke arah lain.

"Ay," panggil Samuel lembut. "Kalau lo yakin, gue lebih yakin."

Aya masih dengan tatapannya ke kakinya sendiri, meski wajahnya sudah Samuel sejajarkan dengan wajah lelaki itu.

"Lo gak yakin sama semua hal tentang gue, hm?"

Akhirnya Aya membalas dengan anggukan pelan. Ia langsung mendekap lelaki itu. Menyembunyikan kepalanya di dalam dada Samuel.

Dulu, Aya tidak pernah mau berpelukan dengan Samuel. Sebab Aya tidak suka, Samuel selalu mendekap Vania. Artinya, ia tidak mau mendekap Samuel setelah bekas Vania.

Keputusan Samuel tidak bisa diganggu gugat. Ia tetap harus kuliah di luar negeri.

"Empat tahun itu waktu yang lama banget, Kak," lirihnya.

"Kita masih bisa komunikasi."

"Kalau kamu sibuk sama tugas gimana?"

"Gue usahain luangin waktu buat telepon."

"Aku takut kamu berpaling," ucapnya dengan nada pelan.

"Gue seriusin lo sebelum pergi."

Aya tersenyum hangat di dalam pelukan. Ia menggeleng pelan, lalu terkekeh. "Jangan bercanda, Kak. Aku udah mulai cinta sama kamu."

Samuel tersenyum tipis. "Jadi?"

"Jadi apa?" balas Aya kebingungan.

"Jadi, lo udah cinta sama gue?"

Aya terdiam, lalu membalas, "Iya."

Atmosfer sekitar mendadak berubah. Samuel mengusap punggung Aya dengan sepenuh hati.

•••••

Seperti biasa, Aya menaruh tasnya di samping meja. Mengambil seragam olah raga, lalu berjalan keluar menuju ruang ganti.

Langkahnya semakin pelan ketika melihat Samuel tengah duduk berdua dengan perempuan berambut panjang.

Vania.

Aya berusaha berpikir positif pada keduanya. Bukannya ini jadwal Samuel untuk membahas soal, ya? Mengapa hanya keduanya saja yang di luar jam pelajaran?

Terlebih lagi Samuel memangku laptop milik Vania yang biasa Aya lihat di apartemen.

Ia kembali berjalan menuju ruang ganti dengan hatinya yang masih bertanya-tanya. Bukankah seharusnya Samuel menghindar dari Vania?

MOST WANTED [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang