34°

6.1K 239 0
                                    

Dua minggu bukan waktu yang lama. Bahkan setahun bisa terasa seperti sebulan.

Aya mulai memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Mungkin ini sudah yang terbaik baginya. Meninggalkan Samuel, dan kembali ke tanah air.

Sudah banyak tempat yang ia kunjungi di sini. Termasuk kedai yang sepi pengunjung karena harganya cukup mahal.

Samuel masuk ke dalam dengan segelas cangkir berisi teh manis hangat. Ia letakkan di atas nakas, lalu terduduk di tepi kasur dengan tatapan yang tidak putus pada Aya.

"Bawa aja," ucap Samuel, ketika melihat Aya menaruh hoodie abu-abu tua miliknya ke dalam lemari.

"Bukannya kamu seneng pakai ini? Nanti beli-beli lagi di sini."

"Bawa aja, Ayyara. Gue kasih buat lo."

Aya menoleh. Mendapati Samuel yang tengah menatapnya dengan satu alis yang naik. "Serius?" tanya Aya.

Samuel berdeham. Ia masih setia duduk di tepi ranjang. Menikmati aroma parfum Aya yang membuatnya tenang.

"Kalau ada apa-apa, telfon gue."

"Lusa lo udah masuk sekolah. Harus siapin mental. Baru otak."

"Sama satu lagi--"

Aya mendelik tajam ke arah Samuel. "Kok, kamu jadi bawel gini sih, Kak? Kayaknya kamu udah mulai ketularan sama, Ragen, deh."

Mengingat Ragen yang banyak berbicara dan cepat cemas, membuat Aya menyimpulkan bahwa kekasihnya ini ketularan Ragen.

"Gue khawatir sama lo."

Aya mengangguk samar. Ia menyudahi kegiatannya, lalu mendudukkan tubuh di tepi kasur. Tepat di samping Samuel.

"Aku lebih khawatir sama kamu di sini, Kak."

•••••

"Nakk! Nanti Aya kamu ajak ke tempat oleh-oleh dulu, yaa! Mama mau nitip makanan khas sana."

"Iya," balas Samuel dengan wajah datarnya.

"Kamu gapapa kan, kalau Aya pulang hari ini??"

Seharusnya memang Aya pulang besok. Tapi kata Papa, lebih baik hari ini agar mendapat waktu istirahat yang cukup.

"Hm. Gapapa."

Mama tertawa kecil melihat wajah datar milik Samuel yang terlihat seperti tidak rela. Bagaimana bisa rela? Aya kan kekasihnya.

"Kamu inii! Nanti Mama sama Papa usahain deh, biar Aya sebulan sekali bisa ke sana. Lagian, kalau kamu yang ke sini gak mungkin, kan?"

Jelas tidak mungkin. Sebab jadwal Samuel pasti akan penuh dengan tugas dan beberapa pekerjaannya yang bisa sedikit menghasilkan uang jajan.

Soal pekerjaan itu, Mama sama Papa tahu. Bahkan kedua orang tuanya mendukung untuk anaknya yang terbaik. Selagi itu bukan pekerjaan yang haram.

Aya menggeliat, kala merasakan mobilnya berhenti. Matanya perlahan membuka. Melihat lampu berwarna merah.

"Macet, Kak?" tanya Aya dengan suara seraknya, khas bangun tidur.

Samuel menaruh ponsel di atas dasbor. Ia mengusap pelan pipi Aya, lalu berdeham singkat. "Masih setengah jam lagi, Ay. Tidur dulu aja, ya. Nanti gue bangunin," ucapnya.

MOST WANTED [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang