40°

8.5K 242 0
                                    

Entah sudah ke berapa kalinya ia menghela napas panjang setelah sampai di kota ini.

Jika waktu memiliki mesin pemutar yang bisa mengembalikan segalanya, Aya hanya ingin Bunda dan Ayahnya tidak dekat dengan keluarga Samuel, dan napas kedua orang tuanya masih ada sampai detik ini.

Tatapannya nanar ke sebuah gedung yang pernah ia tempati bersama Samuel. Di sana berjalannya kehidupan baru. Semuanya seperti semu.

Tapi semenjak Samuel memberinya beberapa peraturan dan membuat hubungan gelap, ternyata warna hidupnya tidak lagi keruh.

"Ay?" Rian menepuk pelan bahu Aya.

Aya mengerjapkan matanya. Sebelum menghadapkan tubuh ke Rian, ia lebih dulu menepis air matanya yang ada di pelupuk mata.

"Makasih ya, Ay."

Aya tersenyum singkat seraya mengangguk samar. "Yaudah, gue sama Dio pulang duluan, ya." Pamit Rian pada Aya.

Ia beralih menatap Dio yang tertidur dengan posisi duduk di dekat motor Rian. "Makasih juga ya, Yan. Makasih kalian udah mau nyempetin main ke rumah," ucap Aya.

Rian terkekeh. "Santai kali, Ayy. Kayak sama siapa aja, sih, lo."

Akhirnya kedua lelaki itu pulang, setelah beberapa menit tadi Davin lebih dulu.

Ia terus menatap motor Rian yang kian menghilang, melaju cepat begitu saja membelah perkotaan di malam hari.

Besok, adalah hari Senin. Hari di mana ia akan bertemu dengan manusia aneh ... lagi.

Jika ada Samuel, pasti Aya sudah diantar oleh lelaki itu. Mengingat Samuel, ia belum mengabarkan bahwa ia sudah sampai di kota ini.

Aya berjalan masuk ke dalam mobil. Kini tersisa dirinya dan sopir saja. Dan untuk kali ini, Papa sedang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

Dering ponselnya berbunyi, setelah mendudukkan tubuh di jok mobil bagian samping pengemudi.

"Kak?" tanyanya dengan nada lesu.

"Udah nyampe?"

"Udah dari tadi. Maaf, ya, aku lupa ngabarin."

"Iya, gapapa. Lo udah jalan pulang, kan?"

"Udah, kok. Ini udah masuk tol. Kemungkinan nanti jam sebelas nyampe rumah."

"Kamu udah selesai, Kak?"

"Baru nyampe apart." Aya mengangguk-anggukkan kepala.

Keheningan melanda selama beberapa detik. Kali ini Samuel lebih dulu membuka suara.

"Kangen," ucapnya pelan, membuat Aya tersenyum tipis dengan tatapan lurus pada jalanan.

•••••

"Gak usah sekolah dulu ya, Ay? Badan kamu anget begini, lho. Nanti Mama nitip surat izin sama Altar aja, deh. Ya?"

Aya mengangguk lesu, setelah berusaha tidak mual dengan obat yang Mama berikan tadi setelah makan bubur.

"Hari ini gak ada ulangan, kan?"

"Enggak ada kayaknya."

Mama akhirnya meninggalkan kamar Aya sambil membawa nampan berisi mangkuk, gelas, dan kotak obat.

Tatapan Aya fokus pada bingkai yang posisinya menghadap ke arah kasur. Ia tersenyum tipis, kala mengingat perlakuan Samuel dulu yang sangat dingin padanya.

MOST WANTED [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang