25°

9.6K 360 0
                                    

"HAHHH??!"

Sontak Aya bersembunyi di balik dada Samuel. Lelaki itu langsung menutup kedua telinga gadisnya dengan kedua tangan saat mendengar pekikan kompak itu.

Rian beranjak dari duduk. Berjalan ke sana-sini sambil mengurut pangkal hidung.

Dio menundukkan kepalanya sambil menggeleng. Tidak lupa juga dengan decakannya yang terdengar kesal. Sedangkan Davin, hanya bisa menatap lurus.

"Gila-gila. Ini gue masih bisa balapan lagi apa enggak, ya," ucap Rian dengan pelan, masih dengan posisinya.

"Kayaknya gue gak bisa nyari yang kayak Aya, deh." Dio menghela napas berat.

Aya kembali menegapkan tubuhnya. Sedangkan Samuel menatap satu per satu ketiga lelaki itu.

"Lo serius, Sam?" tanya Rian memastikan.

Samuel berdeham. Menuai tatapan singkat dari Rian. "Ngg ... sorry, Sam. Gue lumayan kaget denger berita ini. Tapi--"

"Ck, Yan. Udah gak ada tapi lagi. Ini bukan keputusan yang dibuat sama kita. Emang kita siapanya, Aya? Cuman temen biasa, kan?" sahut Davin.

Aya menggeleng ragu. "Enggak. Kalian gak cuman temen aku. Kalian itu udah kayak keluarga aku, Dav," koreksi Aya.

"Lo masih bisa main ke sana," ucap Samuel.

Dio mengusap wajahnya frustrasi. "Hsbghzpjkhfsh stress banget gue."

Padahal, Aya dan Samuel hanya memberitahu bahwa ia tidak lagi sekolah di SMA Tunas Bangsa. Bukan memberitahu tentang hubungannya dengan Samuel.

Aya tidak bisa bayangkan jika itu terjadi. Mungkin Dio, Rian, dan Davin memusuhinya. Atau bahkan tidak menganggapnya lagi sebagai teman.

"Gue gak bisa, Ay. Gak bisa. Kalau gak ada lo, gue jarang banget ketawa, Ay. Seriusan," jelas Dio, membuat Aya semakin bersalah.

"Di," panggil Aya lembut.

"Kamu, Rian, sama Davin masih bisa main ke sana. Kamu juga bisa nginep di sana. Mau sehari? Dua hari? Atau setengah bulan? Gapapa, Di. Jangan sungkan."

"Lo duduk," suruh Davin pada Rian dengan nada cukup dingin.

Pasalnya, sedari tadi Rian hanya
berjalan ke sana ke mari sambil mengusap dahinya yang pening.

Jika bukan apartemen Samuel, mungkin Rian dan Dio sudah mengacak-acak isinya.

"Oke, gue ngewakilin dua orang yang suka sama lo ini, minta maaf sebesar-besarnya." Davin menatap Rian yang menundukkan kepala. Beralih pada Dio yang menatap lurus.

Samuel tidak memberi respon sama sekali mendengar pernyataan itu. Ia sudah tahu bahwa dua lelaki di hadapannya menyukai Aya.

Mengapa Samuel terlihat biasa saja? Sebab, itu adalah sebuah kemustahilan jika Aya suka salah satu dari mereka.

"Gila," desis Dio, membuat semua menatapnya heran.

"Ck, lo yang gila ndut," balas Rian.

"Udah anjir. Lo berdua gak malu apa? Kayak bocah tau gak? Kita masih bisa main sama, Aya. Iya kan, Ay?"

Aya mengangguk dengan senyum manisnya.

"Elahh, Ay. Jangan manis-manis kenapa, sih? Diabetes nih gue lama-lamaaa ...," rengek Dio.

•••••

Sudah selesai dengan perijinan, kali ini waktunya Aya menagih janji Samuel yang katanya akan membelikannya dua judul buku.

MOST WANTED [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang