PROLOG

4.4K 257 24
                                    

-BRUUUMM!

Suara deru mesin motor KLX milik Irman menggema dari kejauhan. Lampu kuning temaram terlihat mencolok menembus kegelapan di antara pepohonan besar.

Ia nampak melajukan motornya dengan hati- hati, mengendalikan roda melewati jalanan tanah licin berlumpur.

Beberapa kali roda belakangnya selip dan hampir membuatnya terjatuh.

"Asu!!" gerutu Irman sambil menggigil. Air hujan seolah tanpa ampun mengguyur seluruh wilayah itu.

Ia mengoper gir pada gigi dua agar torsi mesin tidak terlalu besar, membuat putaran roda menjadi lebih lembut melibas jalanan yang penuh genangan air.

Ia baru saja kembali dari kota, membeli beberapa perlengkapan penelitiannya. Dan setelah mampir sebentar untuk secangkir kopi, ia bergegas kembali ke desa.

Namun siapa sangka bahwa saat memasuki area Licin tiba- tiba saja hujan seketika menjadi lebat. Beruntung Irman membawa jas hujan dalam tasnya. Ia juga menggunakan mantel tas agar berkas di dalam tidak basah.

Irman mengendarai motornya sambil bernafas lewat mulut. Butiran air sangat terasa menghujani kepalanya yang tak memakai helm.

Ia telah melewati area perkebunan, dan sebentar lagi akan melewati jembatan.

Lampu kuning pucat menyorot jembatan yang terlihat sepi dan gelap. Rimbunnya bambu yang tumbuh di bantaran sungai membuat tempat itu terlihat mencekam.

Terlebih di samping jembatan adalah sebuah areal pekuburan lawas yang dinaungi pohon beringin besar. Tempat itu di siang hari saja terlihat begitu suram, apalagi di malam hari hujan seperti ini.

Debit air yang deras kecoklatan terlihat memenuhi sungai yang membelah jurang itu.

Namun Irman seolah tak peduli. Ia dengan cuek terus melajukan KLX nya menuju desa. Yang ia inginkan saat ini adalah segera mencapai basecamp nya dan mengeringkan diri.

"Mungkin sambil sekalian minum teh panas buatan Dyah," gumamnya sambil tersenyum.

Setelah melewati jembatan, tiba- tiba saja ia mencengkeram kedua tuas di setang motornya. Irman menghentikan motornya secara mendadak. Hampir saja ia terjatuh karena tinggi motor yang tidak memungkinkan untuk langsung menjejakkan kaki ke tanah. Namun Irman berhasil menguasai keseimbangan.

Ia berdiri beberapa lama dengan mesin motor yang masih menyala.

Ia mencoba mempertajam pendengarannya di tengah deru mesin motor, deras hujan dan debit air sungai di bawahnya.

Suara kodok yang bersahutan menyambut hujan terdengar begitu riuh dari areal kebun sayur milik warga tak jauh di depannya.

Namun bukan itu yang membuatnya berhenti.

Samar- samar, ia mendengar suara tabuhan gamelan dan kendang yang begitu mendayu. Suara gamelan yang samar, namun juga terdengat begitu jelas.

Seolah sedang dimainkan tak jauh darinya. Namun di mana? Di sekelilingnya hanya ada pepohonan besar, sungai dan jembatan.

Ah ada satu lagi. Kuburan tua.

"..." Irman membeku di tempat sambil menelan ludah.

Entah kenapa, hawa lereng Ijen malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Sedikit takut, ia menolehkan wajahnya ke arah kuburan.

Gelap. Hanya ada gelap pekat di tempat itu.

Ia hanya bisa melihat siluet pohon beringin yang menjulang tinggi dengan gagahnya.

Namun suara gamelan terus saja terdengar dari arah itu. Seolah menghipnotis Irman untuk tak mengalihkan pandangan.

Lalu perlahan, aroma wangi kamboja semerbak memenuhi penciuman. Menyelimuti Irman dan motornya yang berhenti di seberang pekuburan.

-CTAAAASSS!!!

Sebuah kilatan cahaya membelah langit malam tanpa suara.

Menerangi seluruh tempat itu secara sekilas. Hanya beberapa detik saja.

Namun mampu membuat Irman terbelalak hampir terjengkang dari motornya.

Sebab di sana, di antara barisan nisan- nisan kayu, terlihat seorang perempuan yang sedang menari beralas tanah merah.

Ia mengenakan kemben dan jarik batik. Jarinya lentik memainkan selendang hijau yang melingkar di pinggang. Hiasan di kepalanya nampak indah dengan untaian beberapa ronce bunga menjuntai.

Ia mengenakan sebuah topeng ukir kayu berwarna putih pucat, dengan guratan cat yang telah memudar. Sebuah topeng kayu dengan mimik sedih yang terlihat janggal, membuat merinding siapapun yang melihatnya.

Perempuan itu tidak sendiri.

Di sekitarnya, berdiri belasan perempuan yang terlihat ikut melenggok bersamanya. Tangan- tangan kurus dan busuk terentang mengikuti gerakan si penari. Rambut panjang menjuntai dari sela- sela kain wajah mereka.

Ya, itu adalah belasan sosok mayat perempuan yang terbungkus kain kafan usang, sedang mengelilingi si pemakai topeng sebagai pusatnya.

Dan mereka semua berhenti menari- menatap lekat ke arah Irman.

"JANCUK!!"

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang