27. Pesta di Malam Hari

1K 138 5
                                    

"Apa yang telah kalian lakukan?" Mbah Marni bertanya dengan suara parau.

"Apa yang kami lakukan?" tanya Agung balik sambil berbisik. Mereka tak ingin bersuara terlalu keras. "Justru kami yang harusnya bertanya sama Mbah. Apa yang terjadi?"

"Semua hal- hal aneh ini," Irman duduk di sebelah Mbah Marni. "Sebenarnya ada apa Mbah? Apakah ada hubungannya dengan tarian kedok?"

"Sudah kuminta kalian pergi, kan?" Mbah Marni menggelengkan kepalanya lemas. "Aku tak ingin kalian mencari tahu soal tari kedok. Dan kini lihatlah, seluruh desa menjadi seperti ini. Bahkan Sekar.."

Agung dan Irman semakin bingung. "Kami tak melakukan apa- apa Mbah. Kalau Mbah menyalahkan kami karena ini, kami sendiri pun tak tahu."

"Sebenarnya ini ada apa sih Mbah?"

Mbah Marni tak menjawab. Nampaknya ia masih tak bisa menerima kenyataan bahwa Sekar telah menjadi satu dari mereka.

Irman dan Agung hanya berdiam, menunggu Mbah Marni untuk memberi mereka penjelasan. Beberapa lamanya mereka saling memandang tak tahu harus berkata apa.

Lalu dalam keheningan itu, samar- samar mereka mendengar sesuatu.

"Gung, denger?" tanya Irman memastikan bahwa ia tidak salah.

"Iya," jawab Agung merinding mendengar suara gendang dan gamelan di dekat situ. "Ini seperti yang kita dengar pas pertama datang di sini."

Suara musik  yang terdengar begitu jelas dari luar ruangan, membuat Irman dan Agung merasa sangat penasaran. Mereka mengendap ke jendela, lalu perlahan mengintip ke luar.

Tepat di depan mata, menempel di kaca, nampak  sebuah bayangan kepala manusia.

"SETAA-"

Irman segera membekap mulut sahabatnya. Ia pun mengangguk sopan, tersenyum ramah kepada kepala itu.

"Masuk Pak," Irman membuka pintu, mempersilakan Pak Rohman masuk.

Karena penasaran, Pak Rohman menitipkan si anak kecil pada Pak Kadir. Sebagai pemimpin, ia harus tahu apa yang sedang terjadi di desanya. Kemudian ia nekat membuntuti bariasan mayat dan penari itu ke sini.

Ke kantor desa.

Sosok berkafan dan berwajah rata berkerumun di halaman kantor. Mereka melenggok, merentangkan tangan, dan menari di sekeliling pendopo. Seolah tak peduli dengan manusia di ruangan serbaguna.

Sementara di tengah bangunan itu, si penari berkedok panji nampak gemulai memainkan selendang hijaunya. Diiringi tabuhan gamelan yang entah dari mana asalnya.

Mengerikan. Namun juga menimbulkan satu pertanyaan bagi Pak Rohman.

Sebenarnya apa tujuan mahluk- mahluk itu berkumpul di pendopo desa?

"Ayo kita pergi," ajak Irman, mumpung semua mahluk itu tak memperhatikan mereka. Ini adalah kesempatan mereka untuk melarikan diri.

"Ayo Mbah," Agung menggandeng Mbah Marni, hendak membawanya keluar.

Namun saat hendak melewati pintu, Mbah Marni mematung di tempat. Ia terbelalak melihat kerumunan mayat -bukan- lebih tepatnya karena melihat sosok gadis yang sedang menari bersama mereka.

Tubuhnya gemetaran, dengan tangan yang menunjuk penari itu. Ia tak bisa mempercayai matanya melihat sosok itu muncul kembali. Lalu ia menggumamkan sebuah nama, dengan suara lirih dan parau.

"Manggar?"

"..."

Begitu nama itu disebut, seketika alunan gamelan senyap. Mayat- mayat itu berhenti menari, lalu menoleh ke arah ruang serbaguna, begitupun sang penari.

"ASTAGA!" Pak Rohman, Irman dan Agung mematung di tempat.

Perempuan penari itu bergerak maju- melayang tinggi melintasi halaman kantor desa melewati kerumunan mayat. Melesat cepat menuju mereka.

"MASUK! CEPAT MASUK!!" Pak Rohman berteriak.

Mereka berlari masuk kembali ke dalam ruangan. Irman yang paling terakhir, segera menutup pintu. Tangannya bergerak cepat hendak mengunci ruangan itu. Namun,

-BRAAKK!!!

Pintunya menjeblak terbuka keras seperti di hantam. Membuat Irman tersungkur di tempat.

Si penari melayang tepat di ambang pintu. Rambut dan selendangnya berkibar seolah tertiup angin. Wajah berkedok pucat itu menunduk, menatap lurus ke arah mereka dari balik topeng kayu.

"Manggar?" Mbah Marni kembali menyebut nama tersebut.

Ada apa ini? Apa Mbah Marni mengenal hantu penari ini?

"Hihihihi," si penari tertawa cekikikan dengan nada melengking. Membuat mereka semua merinding. "Siapa Manggar? Aku kah? Apakah aku Manggar?"

"Kenapa kamu bisa datang kembali?" Mbah Marni nampak tercengang melihat sosok Manggar -entah siapapun itu. "Manggar."

Si penari melayang turun perlahan- menjejakkan kakinya ke tanah. Ia berjalan mendekat sambil satu tangannya terangkat- memegangi bagian dagu kedok itu.

"Aku bukan Manggar," ujarnya sambil melepas topeng itu dari wajahnya.

Membuat Pak Rohman, Agung dan Irman terkejut saat melihat siapa di balik topeng itu. Sebab selama beberapa hari terakhir ini mereka bertiga telah mencari- carinya tanpa hasil.

"DYAH!?" seru mereka hampir bersamaan.

Bagaimana mungkin? Bukankah Dyah sendiri yang bilang bahwa dia melihat sosok penari itu saat tiba di Gantasan? Lalu bagaimana ceritanya Dyah justru menjadi sosok penari ini?

"Dy? Dyah?" Irman berdiri dan mendekat.

"MAN! Jangan goblok!" Agung hendak mencegah Irman, namun Pak Rohman menahannya. Mereka dan Mbah Marni hanya bisa melihat Irman yang mengulurkan tangan.

Menyentuh pipi Dyah.

"Ini Irman Dy," Irman tersenyum memandangi mata Dyah yang menatapnya dingin tanpa ekspresi. Dyah berdiri diam, membiarkan Irman mengusap pipinya lembut. "Kamu inget aku kan Dy?"

Sebagai jawaban, satu tangan Dyah seketika mencekik leher Irman, dan dengan mudah mengangkatnya beberapa cm dari tanah. Lalu Dyah memasang topeng itu kembali menutupi wajahnya.

"Lancang kowe."

Irman megap- megap memegangi jemari Dyah yang mencengkeram lehernya, kakinya menendang udara.

"MAN!!" seru Agung, bergegas hendak menolong temannya.

"HIHIHIHIHI!!" Dyah tertawa dan melesat, melayang mundur dengan Irman menggantung di tangannya. Membawanya kembali ke pendopo yang dikerumuni puluhan mahluk bermuka rata.

Dan seketika suara gendang dan gamelan terdengar riuh. Mengajak para mayat dan warga berwajah rata menari kembali. Dyah melenggok, memimpin tarian itu sementara Irman terkapar di kakinya.

Angin menghembus menggoyangkan dedaunan pohon- pohon besar. Wangi kembang pekat menyeruak memenuhi tempat itu.

Di tengah kegelapan malam, perlahan suasana menjadi benderang. Beberapa bola api muncul melayang- layang mengitari pendopo. Itu adalah banaspati, konsentrasi energi hitam yang biasa dipelajari para dukun santet.

Agung menahan nafas. Entah kenapa melihat Dyah menari di pendopo bercahayakan api terasa familiar baginya.

Lalu samar- samar, di antara pekatnya malam, nampak kain- kain putih bergelantungan. Suara cekikikan bersahut- sahutan menggema di langit Gantasan.

"Ya Allah.." kedua kaki Pak Rohman rasanya lemas seketika.

Melihat belasan kuntilanak muncul bertengger di lebatnya pepohonan kantor desa.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang