30. Kenapa baru Sekarang?

1.2K 160 22
                                    

"JANCUK!!"

Irman seketika bergegas turun saat menyadari bahwa itu bukan Dyah. Dengan cepat ia berpijak pada sulur- sulur beringin, lalu melompat ke tanah.

Sementara di atas, ikatan rambut yang membelit Dyah bergerak melepas sendiri.

"Mbah Marni!" Irman semakin panik sebab semuanya berjalan semakin di luar kendali. Ia hampir mencapai Marni yang sedang memejamkan matanya melantunkan syair.

-DUAAAR!!!

Suara ledakan keras terdengar, menggema memenuhi tempat itu.

Irman yang menoleh ke arah suara.

Kelana roboh ke tanah, dengan topeng merah pekatnya terbelah menjadi dua. Ia terlentang tak bergerak sama sekali.

"Tidak! Kelana!" Marni berlari menghampiri Kelana. Ia mendongak menatap si peri putih yang bertengger pada salah satu dahan beringin, nampak kokoh tak terkalahkan.

Bagaimana bisa Panji yang baru saja bangkit bisa sekuat ini?

Kecuali-

"Gawat Mbah!" Irman terengah bersandar pada kedua lututnya. Bahunya naik turun dengan peluh bercucuran.

Marni menoleh ke arah lain, di mana Dyah telah lepas sepenuhnya dari ikatan rambut. Ia berjalan di tanah merah, mendekat ke arahnya.

"Jangan bilang-" Marni menelan ludah. Ia sangat mengenali gaya berjalan dan gerak tubuh itu. "-itu adalah Manggar?"

Dyah berdiri melipat lengan, menatap lurus ke arah Kelana yang tergeletak dengan topeng retak. "Sebenarnya sudah berapa tahun berlalu sejak kejadian itu?"

"Lama tak jumpa. Sudah lebih dari 60 tahun berlalu-" Marni nampak tegang. Rekan penarinya puluhan tahun lalu kini telah kembali dalam tubuh orang lain. "-Manggar."

"Oh, pantas saja," Dyah tersenyum sinis. "Kelana sampai bisa sebesar itu."

"Bagaimana bisa kamu kembali?"

"Bagaimana bisa? Entahlah," Dyah mengangkat bahu, mengangguk kepada peri putih nya. "Panji lah yang membawaku ke sini. Dengan memakai tubuh gadis entah siapa ini."

"Warga Gantasan yang dulu sudah tak ada lagi. Kamu membawa dendammu pada orang- orang yang salah."

"Mungkin." balas Dyah datar. "Tapi masih ada sisa masa lalu yang masih hidup."

"..."

"Yaitu kamu!" Dyah melotot tajam, menunjuk tegas ke arah Marni.

"Maafkan aku Manggar," Marni berlutut lemas. "Aku tak tahu Mbak Indah dan Pak Kardi melakukan itu padamu..."

"Padahal aku sudah menganggap kamu sebagai saudaraku sendiri," ujar Dyah dengan suara bergetar menahan emosi. "Dan kamu tidak berbuat apa- apa untuk  menolongku!"

"Maafkan aku. Aku tak tahu.."

"Kini aku akan menuntaskan semuanya!" Dyah terbahak. Ia melirik ke arah Panji, yang seketika melesat dari dahan beringin.

Kelebatan bayangan putih itu seketika berhenti tepat di hadapan Marni yang hanya terduduk pasrah. Jika Kelana saja tak mampu melawannya, ia bisa apa?

"Kamu harus mati," Panji tertawa cekikikan. Tangan kurusnya bergerak perlahan, dengan cakar hitam terentang lebar.

Lalu jari- jari itu melingkar di leher Marni.

"DYAH!!" Irman sontak berlari mendekati Dyah yang berdiri melipat lengan- menatap dingin perinya yang hendak mencekik sahabatnya sendiri.

"Siapa kamu?"

"Dyah?" Irman menatap panik ke arah Marni dan Dyah secara bergantian. "Tolong hentikan Panji, lepaskan Mbah Marni!"

Marni memejamkan matanya. Ia benar- benar sudah pasrah menyerahkan nyawanya pada Manggar. Asalkan ini bisa menghentikan kutukan dan kebencian sahabatnya.

"..."

"Dyah- sori. Manggar," Irman memegangi kedua bahu Dyah, mencoba untuk mengajaknya bicara. "Tolong hentikan semua ini. Panji telah menceritakan semuanya. Dan aku tahu kamu orang baik."

"..."

"..."

"Kamu pikir aku peduli?" sahut Dyah singkat.

"Hnnngkh!!"

Marni mengerang tertahan saat jari- jari Panji mulai mencekik lehernya. Sangat perlahan. Namun pasti. Dan semakin erat.

"DYAH! Tolong Dy, hentikan semuanya!" Irman benar- benar tak tahu harus berbuat apa. Ia sangat kebingungan dengan fakta bahwa yang di hadapannya adalah Manggar. Kalau saja Manggar tidak menggunakan tubuh Dyah, ia pasti sudah menghajarnya dari tadi. "Aku mohon Dy. Lepaskan Marni."

"..."

Dyah berdiri mematung dengan mata melebar. Menatap kejadian di depan matanya dengan satu sudut bibir terangkat. Ia tersenyum sinis.

Sementara Irman hanya bisa tertegun menatap wajah Dyah yang entah kenapa membuatnya merinding. Ia tak menyangka wajah kalem itu bisa membentuk ekspresi yang begitu jahat. Walaupun Irman tahu bukan Dyah lah yang membuat mimik seperti itu.

Namun Irman tak rela, tubuh Dyah digunakan untuk berbuat jahat.

Tanpa sadar Irman mendekat.

"Mau apa kam-"

Lalu mengecup bibir Dyah lembut. Sekilas. Lalu bersimpuh di samping gadis itu- putus asa karena tak tahu harus berbuat apa untuk menolongnya.

"..."

"Dy, aku mohon. Sadarlah," lirih Irman pasrah.

Membuat Dyah membeku menatap Irman.

Manggar -di dalam Dyah- merasakan perih di dadanya. Kecupan sekilas itu seolah mengigatkannya, bagaimana Pak Kadir dan beberapa lelaki sanggar pernah beramai- ramai melumat bibirnya di bawah beringin ini dengan liar dan penuh nafsu.

Jauh berbeda dengan apa yang baru saja ia rasakan. Walaupun sekilas namun jauh lebih indah dari semua yang pernah ia rasakan.

Tanpa sadar titik air mata menetes dari ujung mata Dyah.

"Kenapa?" Dyah menggigit bibirnya menahan tangis.

Panji yang terhubung dengan Manggar, seolah ikut merasakannya. Ia melepas cekikannya dari leher Marni- membuat gadis penari itu terbatuk- batuk hebat beberapa saat.

Lalu Marni memaksakan dirinya bangkit, dan bergegas menuju Dyah yang berdiri diam.

"Maafkan aku Nggar," Marni memeluk Dyah. Erat.

"Kenapa baru sekarang?" tanya Dyah lirih di telinga sahabatnya.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang