17. Perselisihan

1.1K 140 4
                                    

Agung dan Irman baru saja tiba dari kota saat maghrib menjelang. Keduanya memarkir motor di sebelah ruang base. Dan begitu masuk, betapa terkejutnya mereka melihat Dyah sedang duduk di dalam dengan sebuah topeng berwarna merah pekat.

Agung dan Irman bertanya dari mana Dyah mendapatkan topeng itu.

Lalu Dyah pun menceritakan semuanya. Tentang rencananya bersama Sekar, tentang kotak kayu di bawah rumah Mbah Marni.

"Jadi memang, foto sejarah itu asli. Kesenian tari kedok Banyuwangi dulu memang benar pernah ada," Dyah tersenyum puas, menunjukkan topeng Kelana di tangannya.

"Jadi benar, bahwa Mbah Marni tahu sesuatu tentang tari kedok?" Agung mengusap dagunya. "Bahwa ternyata memang ia menyembunyikan sesuatu tentang desa ini?"

"..."

"Aku bahkan sempat ambil foto topeng- topeng itu di dalam kotak kayu tadi," Dyah menoleh ke arah ponsel Blackberry nya yang sedang ia charge. "Nah sekarang, tinggal bagaimana caranya aku balikin topeng ini ke kotak itu lagi."

"Kok bisa?" tanya Irman.

"Ya kan nggak sengaja kebawa," Dyah meletakkan topeng Kelana di atas carriernya.

"Nggak sengaja?" Irman menatap Dyah tajam, dengan nada suara meninggi.

Dyah dan Agung menatap Irman sedikit bingung.

"Kamu merencanakan untuk menyelinap masuk ke kamar seseorang, membuka- buka barang pribadi. Itu kamu bilang nggak sengaja?" Irman mendengus, menggeser duduknya lebih dekat ke arah Dyah.

"Ya tapi kan-"

"KAMU DY?" Irman menunjuk gadis itu tepat di depan wajahnya. "Kamu itu selama ini adalah orang yang paling waras di antara kita. Kamu adalah orang yang paling rajin, paling dewasa!

Dan bisa- bisanya kamu nekat melakukan hal begini?"

"..."

Dyah menatap Irman, tertegun. Ia tak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.

"Tapi aku kan ngelakuin ini demi topik tugas kalian?" Dyah mencoba membela diri. "Dan dengan ini, sudah jelas bahwa materi kita nanti bukan jalan buntu!"

"Terus kamu mau nulis apa di skripsi nanti? Bahwa kesenian tari ini terbukti ada dengan cara kamu menyelinap masuk ke rumah orang tua?" Irman nampak sangat sebal. "Apa yang kamu lakukan ini nggak etis. Nyalahin aturan!"

Agung hanya diam mengamati kedua sahabatnya. Ia masih menyimak, dan mulai menimbang pendapat mereka.

"Terus maumu gimana? Mungkin yang aku lakukan ini salah, tapi setidaknya aku melakukan sesuatu demi jalannya penelitian kita," Dyah balik menunjuk ke arah Irman. "Sedangkan kamu seharian ini ngapain?"

"Bukannya sudah kami jelasin kemarin, kita akan melakukan wawancara ulang bersama Pak Rohman?" Irman menarik nafas panjang, memijit kepalanya. "Kan cuman perlu nunggu dia balik besok dari Surabaya?"

Dyah menatap ke arah Agung. "Menurutmu gimana? Apa yang aku lakukan salah?"

Agung menyisipkan sebatang rokok dan menyalakannya.

"Aku sih berterima kasih sama kamu Dy," ujarnya pelan. "Kamu mau bertindak sejauh itu demi membantu tugas akhir kami."

Dyah tersenyum mendengar itu. Akhirnya ada yang menghargai hasil jerih payahnya.

"Tapi apa yang Irman bilang itu benar."

Senyum di wajah Dyah seketika menghilang.

"Kita datang ke sini sebagai tamu, yang ingin mengadakan penelitian secara baik- baik. Kita ke sini walaupun menggunakan biaya mandiri, tapi masih membawa nama kampus.

Kamu terlalu mengejar hasil sampai rela melakukan hal begini?"

"Jadi kalian menyalahkan aku?"

Agung mengisap rokoknya sekali lagi. "Tidak juga. Tapi aku kurang setuju."

"Aku sangat tidak setuju," ujar Irman datar.

"..."

"Apa yang kamu lakukan ini sangat memalukan. Kamu menyelinap ke kamar orang- " Irman menunjuk ke arah rumah Mbah Marni di luar ruang base. "Aku sama Agung yang berangasan aja nggak kepikiran ngelakuin hal seperti itu."

Dyah menahan nafasnya penuh emosi.

"Dan Sekar! Kamu bahkan mengajaknya untuk melakukan hal begitu bahkan kepada Mbah nya sendiri? Kamu mikir apa Dy?" kali ini nada bicara Irman terdengar sedikit lebih lembut. "Sekar kurang baik apa sama kita?"

Mendengar nama Sekar disebut, Dyah mulai memikirkan ulang semua.

Dan kini perlahan rasa bersalah mulai merayap dalam dirinya.

"Kamu harus minta maaf sama Sekar," Irman meraih topeng Kelana yang ada di atas carrier.

"Dan besok kita akan mengembalikan ini-"

"-Man," Agung menyentuh bahu Irman, menunjuk ke arah Dyah dengan dagunya. "Sudah."

Dyah duduk di matras sambil menundukkan kepalanya. Ia mematung diam dengan bahu berguncang pelan. Rambut panjangnya terurai menutupi sebagian wajah.

Irman tak bisa melihat jelas, tapi ada tetesan air yang berjatuhan.

Terdengar suara isak lirih. Dyah berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.

"Ccckk!!" Irman berdecak sambil menyambar kotak rokok. Ia beranjak dari duduk dan berjalan keluar ruangan.

Irman berdiri di dekat pintu, melirik ke dalam. Terlihat Agung mendekati Dyah sambil berbicara kepadanya, berusaha menenangkannya.

Irman menyandarkan badan di tembok sambil mengisap rokoknya dalam. Lalu ia menghela nafas panjang, menghembus asap putih membubung. Pandangannya menerawang ke langit yang telah gelap.

Ia tak pernah bisa melihat Dyah menangis seperti itu.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang