24. Barisan Mayat Berjalan

1K 139 5
                                    

Pak Rohman menganga tanpa ada suara keluar, menatap Bu Rohman yang berjalan mendekat.

Tanpa berpikir panjang, Pak Rohman berlari sekuat tenaga keluar rumah. Ia sampai terjerembap ke pekarangannya, dengan nafas terengah. Lalu bersusah payah, ia memaksa dirinya bangkit.

Perasaannya bercampur aduk: takut, syok, bingung dan sedih.

"Ya Tuhan, kenapa istriku menjadi seperti itu?"

"IBUUUU!!" terdengar suara tangisan anak kecil dari sebelah rumah.

Pak Rohman menoleh, dan melihat Pak Kadir menggendong putrinya yang masih TK. Mereka berlari tergesa meninggalkan rumah.

"Pak Kadir!!" Pak Rohman bergegas menyusul tetangganya ke jalan. Semakin dekat, Pak Rohman bisa melihat wajah Pak Kadir yang juga sama muramnya.

Rasanya ia paham apa yang sedang terjadi di rumah sebelah.

"Huuu! Bapaaak. Kenapa ibu jadi serem begitu?" anaknya meraung- raung memukuli Pak Kadir.

Lalu tak berapa lama, para warga laki- laki berhamburan keluar rumah. Mereka semua nampak ketakutan dan bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sebab sebagian besar ibu dan gadis di desa gantasan kini bermuka rata.

Seolah- olah ada yang mengisap wajah mereka begitu saja.

Para laki- laki dan perempuan yang selamat, berkumpul di mushola, duduk berdesakan dalam ruangan kosong itu. Mereka sangat ketakutan, panik, dan berusaha saling menenangkan satu sama lain. Terutama kepada anak- anak, yang meringkuk ketakutan dalam kegelapan. Sekuat tenaga menahan tangis dan suara.

"Matikan senter kalian!"

"Cepat turup korden nya!!"

Perlahan matahari telah terbenam sepenuhnya, menyisakan secercah guratan cahaya kemerahan di langit yang hitam. Rintik- rintik hujan mulai berjatuhan di atap mushola. Hawa dingin menusuk mulai menyergap.

Aroma air hujan yang segar  tiba- tiba saja berganti menjadi busuk menyengat memenuhi ruangan. Sangat pekat.

Para warga di dalam mushola menutup hidung dan mulut. Mereka merasa mual, ingin muntah. Bau busuk seperti ikan yang direndam dalam air selama berhari- hari.

"Pak, bau apa ini?"

"Bangsat! Siapa yang kentut?"

Pak Rohman dan Pak Kadir yang berada di dekat jendela pun juga merasa penasaran. Sambil menutup hidung, ia menyibak sedikit korden mushola.

Tak terlihat apapun. Tak ada listrik, tentu saja tak ada lampu menyala. Hanya ada sinar bulan yang tertutupi awan hujan tipis yang menjadi sumber cahaya.

Lalu perlahan, mata Pak Rohman mulai menyesuaikan dengan sekitar.

Samar- samar ia bisa melihat apa yang ada di luar.

"Astaga!" Pak Rohman dan Pak Kadir terbelalak dengan jantung serasa ingin copot.

Di jalanan desa mereka, kini dipenuhi oleh sosok- sosok mayat perempuan berkafan yang berkeliaran dengan tangan terjulur.

Mereka berjalan tanpa arah, berjalan gontai dengan tubuh menghitam berlendir. Rambut- rambut panjang menjuntai yang bergoyang seirama dengan ikatan di atas kepala mereka.

Dan semua mahluk berkafan itu juga bermuka rata.

Itu adalah mayat- mayat dari kuburan tua di bawah pohon beringin.

-----

"Ngggkhh!!" Agung meregangkan tangan dan badannya. Ia mengerjapkan matanya sejenak, dan kebingungan saat sekitarnya terlihat gelap gulita.

Sejenak kemudian ia baru ingat bahwa aliran listrik di desa sedang terputus.

Agung mendudukkan dirinya selama beberapa saat. Rupanya ia tidur nyenyak sekali, hingga tak terasa sudah malam. Pasti begadang semalaman sampai siang membuat tenaganya terkuras habis.

Lalu ia melihat Irman, sedang berdiri mematung di sebelah jendela. Ia nampak serius memandang tajam ke arah luar, dari balik korden.

"Man? Ngapain?" tanya Agung parau.

"Sini lihat saja sendiri," jawab Irman lirih. Ia seolah tak bisa melepas pandangan dari luar.

"Apaan?" Agung menguap lebar. Ia berjalan mendekati Irman, lalu ikut melongok ke luar jendela. Ia yang baru saja terbangun mengucek matanya, menatap suasana malam tanpa lampu.

Dan mendapati dua- tiga mahluk berkafan sedang berjalan di bawah pohon mangga, di sebelah motor yang terparkir. Melihat ikatan khas di atas kepala mereka, Agung pun refleks berteriak.

"JANCUK! POCONGAN!?"

Satu pocong berhenti bergerak, dan menoleh cepat ke arah mereka.

"GOBLOK!!" Irman segera membekap wajah Agung dan menariknya ke lantai tepat di bawah jendela.

Pocong itu berjalan menyeret, mendekati jendela ruang serbaguna. Lalu perlahan, ia menempelkan wajah ratanya pada kaca.

Agung dan Irman duduk di lantai, merapatkan punggung mereka pada tembok. Sementara kepala pocong itu masih menempel lekat pada kaca jendela di atas kepala mereka.

-TUK.

Satu jarinya yang kurus membusuk mengetuk kaca.

-TUK. TUK.

Ia terus mengetukkan jarinya pada kaca jendela, seolah memastikan keberadaannya pada siapapun di dalam ruangan.

Sebuah ketukan yang pelan, namun terasa mengancam.

"Jancuuk! Jancuuuk!" Agung menutupi telinganya dari suara ketukan itu sambil mengumpat lirih.

Irman berusaha menenangkan dirinya sambil memejamkan mata.

Ini di luar jendela, adalah yang ia lihat tadi malam.

Mayat yang telah terkubur puluhan tahun lalu, namun masih terlihat membusuk seakan baru dikubur beberapa hari saja.

-TUK. TUK.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang