2. Kesenian yang Hilang

1.7K 180 7
                                    

Wajah Irman dan Agung nampak sangat tidak antusias mendengar jawaban Dyah.

"Tari Banyuwangi?" Irman mengisap rokoknya, membuat suara kretek terbakar. "Yang semacam gandrung, kebo- keboan itu? Bukannya itu topik yang sangat umum?"

"Kalo tarian sih di Jember juga banyak Dy," tambah Agung. "Ngapain jauh- jauh ke Banyuwangi."

"Makanya dengerin dulu dong," Dyah mencoba bersabar menghadapi kedua sahabatnya sejak SMA ini. 

Di antara mereka bertiga Dyah adalah satu- satunya yang sudah berjalan dalam pengerjaan tugas akhirnya. Sementara Irman masih proses pengajuan judul. Dan Agung bahkan masih belum menyelesaikan matkul persyaratan pengajuan skripsi.

Namun justru karena itulah, Dyah bersemangat untuk membantu mereka. Sebab ia ingin nanti bisa berfoto memakai toga bersama.

Ia membuka browser, menunjukkan artikel sejarah berbahasa inggris di Blackberry nya.

"Ini, menurut kalian apa?" Dyah meletakkan ponsel nya di meja.

Irman dan Agung memiringkan kepala, mengamati gambar pada layar ponsel tersebut.

Sebuah gambar sekelompok tentara asing yang sedang berfoto dengan warga lokal berpakaian adat. Irman menggeser track-ball di ponsel, membaca deskripsi foto tersbeut.

Group of Ally soldiers with Kedok dancers in Banyuwangi. (Circa 1945)

"Tentara sekutu, bersama penari Kedok?" Irman menyipitkan matanya melihat lebih jelas gambar itu.

Ada lima orang perempuan yang mengenakan pakaian tari berupa kemben, jarik dan selendang. Mereka mengenakan untaian bunga sebagai hiasan rambut. Dan masing- masing penari mengenakan topeng ukiran kayu di wajah mereka.

"Nggak pernah denger," Agung menggelengkan kepala. "Emang ada tari topeng dari Banyuwangi?"

"Lagian ini, mirip topeng Cirebon-an. Yakin ini fotonya nggak salah deskripsi?" Irman menyodorkan balik ponsel itu kepada Dyah. "Tapi dari motif batiknya sih Gajah Oling, Banyuwangi-an."

Dyah tersenyum melihat kedua sahabatnya mulai penasaran. "Tuh kan. Nggak pernah denger kan?"

Dyah kembali membacakan artikel di situs sejarah berbahasa asing itu.

"Di sini dikatakan bahwa sekitar tahun itu, tari Kedok dan Gandrung adalah dua aliran tari besar di Banyuwangi.

Nah, tentara sekutu masuk Jawa itu akhir tahun '45, sekitar 60 tahunan lalu lah ya.

Dalam rentang waktu itu sampai sekarang, kenapa tiba- tiba tari Kedok bisa 'hilang begitu saja'? Kenapa sekarang hanya tari Gandrung saja yang terkenal?" Dyah membuat tanda kutip dengan kedua tangannya.

"Mungkin karena enggak ada yang nanggap?" Agung mengangkat bahunya menebak asal- asalan.

Irman diam saja mencoba mengingat- ingat apapun yang ia tahu mengenai tari Kedok dari Banyuwangi. Ia pun menggeleng menyerah.

"Aku tadi ke perpus, nyoba nyari mengenai budaya Jawa Timur. Juga mengenai tarian Indonesia," Dyah memasukkan ponselnya kembali dalam tas. "Aku nggak nemu sama sekali tentang tarian ini."

"..."

"Kenapa bisa tarian ini justru ada dalam artikel sejarah asing?" Dyah kembali memancing rasa penasaran Irman dan Agung.

Keduanya menenggak minuman mereka bergantian.

"Ini sesuatu yang menarik kan? Bagus loh buat tugas akhir kalian? Banyak banget aspek yang bisa digali. Bahkan mungkin bisa jadi beberapa judul skripsi," Dyah melipat lengan sambil menyandarkan badannya pada kuris kayu.

"Kalaupun kita mau meneliti soal tari Kedok itu, kita harus mulai dari mana? Petunjuknya aja nggak ada," Irman membalik pertanyaan Dyah.

"Kalau menurut artikel tadi sih, para tentara sekutu itu sedang dalam perjalanan ke Kawah Ijen, hendak meninjau penambangan belerang di sana untuk keperluan militer.

Dan mereka menemukan kelompok tari Kedok itu di daerah Licin. Sebuah desa bernama Gantasan."

"Tapi kan itu masih fifty-fifty? Kalo aku ngajuin judul penelitian soal ini, kemudian di sana nggak ada- buyar semua dong!" Irman nampak pesimis.

"Nah, makanya. Sebelum ngajuin judul, kita survey dulu ke sana," ujar Dyah. Berbanding terbalik dengan Irman, ia merasa optimis untuk penelitian di lokasi.

"Semingguan lagi kan libur semester nih. Bisa lah kita pake untuk cari data ke sana. Istilahnya kalian curi start dulu sebelum ngajuin judul skripsi.

Jadi nanti pas judul kalian disetujui, tinggal jalan doang kan sudah punya data.

Dan kalau memang di sana kita nggak dapet apa- apa, anggep aja kita liburan. Kalian bisa cari bahan lagi setelah semester baru mulai." Dyah menatap wajah dua sahabatnya lekat- mencoba memberi pemahaman kepada mereka.

"..."

"Iya juga sih," Agung mengangguk- angguk. "Ketimbang libur semester kita lewatin gitu aja di kost, bergelimang alkohol sambil ngocok? Nggak produktif kan?"

"Jancuk mulutnya rusak!" Irman mengusap wajah Agung gemas. "Ada Dyah di sini tau!"

"Loh bener kan? Ketimbang diem di kost ngabisin cairan tubuh-"

"Cuk!"

Dyah tersenyum melihat Irman dan Agung kembali normal. Ia membuka buku catatannya, melihat jadwal konsultasi skripsinya sendiri. Toh selama libur semester, para dosen tidak mau diganggu.

Jadi sekalian saja ia ikut menemani Agung dan Irman ke Banyuwangi.

"Gimana? Jadi kalian setuju nih?" Dyah memastikan.

Irman mengangguk mengiyakan. "Nanti aku akan bikin list apa aja yang kira- kira dibutuhkan buat ke sana. Biar aku sama Agung aja yang nyari logistiknya."

"Kalo gitu, aku akan nyari info mengenai desa itu. Kalo perlu sekalian aku cari perijinannya untuk ngadain penelitian di sana," Dyah membuat coretan- coretan di buku catatannya.

"..."

Ketiga nya saling memandang, dengan sebuah senyuman di wajah masing- masing.

Kelihatannya, tugas akhir mereka akan menemui titik terang.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang