6. Malam di Gantasan

1.3K 153 7
                                    

"Sini Mbak," Sekar mengajak Dyah langsung menuju kamar di sebelah ruang tamu. Kamar itu tidak memiliki pintu dan hanya ditutupi menggunakan gorden. "Maaf rumahnya kecil, Mbak tidur sama aku di sini."

Dyah berdiri di depan pintu, mengamati kamar tempatnya tinggal untuk dua minggu ke depan.

Kamar Sekar berukuran 3x4 meter, dengan sebuah ranjang kecil sederhana. Hanya ada satu lemari kayu usang, dan sebuah meja kecil yang berisi barang- barang pribadinya. Namun terasa nyaman karena Sekar menata semuanya begitu rapi dan bersih.

"Maaf ya ngerepotin," Dyah mengusung carrier nya masuk. "Semoga kamu nggak ngerasa keganggu sama aku ya."

Sekar menggeleng ramah sambil merapikan ranjang dengan penebah. "Nggak lah Mbak. Aku malah seneng kedatangan Mbak Dyah di sini. Jadi agak rame dikit. Soalnya biasanya cuman berdua sama Simbah."

Dyah meletakkan carrier nya di pojokan kamar lalu ikut membantu Sekar. "Tinggalnya di rumah sama Mbah saja?"

"Iya. Bapak Ibu kerja dan tinggal di luar kota," Sekar mengangguk. Ia lalu bercerita banyak mengenai kesehariannya di rumah.

Bahwa setelah lulus SMP ia tidak melanjutkan pendidikan lagi. Lalu selama dua tahun terakhir ini ia tinggal di rumah bersama neneknya. Ia juga sesekali ikut bekerja bersama warga lain di kebun kopi saat panen raya.

Sekar adalah gadis yang lembut dan ramah. Wajahnya bulat manis dengan lesung pipit di salah satu sudut bibirnya. Ia juga berpenampilan sederhana, khas gadis pedesaan.

"Oh iya," Dyah teringat sesuatu. "Mbah mana? Aku mau permisi dulu sama yang punya rumah."

Sekar terdiam, melirik ke arah korden tertutup di kamar sebelah.

"Mbah lagi istirahat. Lebih baik jangan di ganggu deh, gampang capek soalnya," Sekar berdiri memandangi ranjangnya yang nampak rapi, lalu mengangguk puas. Ia membuka lemari untuk mengambil selimut tambahan. "Kalo udah gelap di sini agak dingin."

Dyah mengangguk mengerti. Ia lalu bertanya hal lain. "Eh, kamar mandi di mana ya? Numpang dong."

"Ada di sebelah dapur, tinggal lurus aja," jawab Sekar tanpa menoleh. Ia sedang menarik keluar selimut dari tumpukan dalam lemari.

"Oke," Dyah beranjak meninggalkan kamar dan menuju ruang dapur di belakang. Mudah dicari karena rumah ini sendiri tak terlalu besar. Dyah menyalakan lampu kamar mandi dan menutup pintu.

"Aduh dingin banget," gumam Dyah saat menciduk segayung air. Ia pun segera menyelesaikan urusannya dan membersihkan diri. Lalu ia bergegas kembali ke kamar Sekar dengan sedikit menggigil.

Saat melintas ruang tengah ia melihat gorden penutup kamar Simbah yang sedikit terbuka.

Dyah berjalan agak pelan- mencoba sesopan mungkin agar tidak berisik atau mengganggu waktu istirahat orang sepuh.

Lalu entah kenapa, sebuah rasa penasaran menggelitiknya. Ia ingin melihat sosok Simbah nya Sekar, yang mau berbaik hati memberinya tumpangan selama berada di desa  Gantasan.

Dyah menoleh ke arah kamar. Dan melihat sosok yang ia cari.

Wanita tua itu sedang terduduk diam di tepian ranjang.

Mbah Marni berperawakan kurus membungkuk. Ia mengenakan kebaya berwarna merah dan jarik coklat. Rambutnya yang berwarna putih panjang menjuntai menutupi sebagian wajah.

Dan kemudian, ia menoleh kepada Dyah.

"..."

Dyah menelan ludahnya gugup.

"Nuwun sewu," Dyah mengangguk sambol tersenyum salah tingkah, lalu bergegas masuk ke kamar Sekar.

-----

"Habis ngapain?" tanya Irman saat melihat Agung  kembali dari luar. Irman sendiri sedang duduk di lantai, beralaskan matras gulung. Di tangannya terselip sebatang rokok menyala.

"Kencing," jawab Agung santai sambil menaikkan risleting celananya.

"Kok dari arah sana?" Irman nampak bingung, sebab posisi kamar mandi kantor desa berada di ujung lain bersebrangan dengan ruang serbaguna. "Nggak ke toilet?"

"Males bro, jauh," Agung ikut duduk di matras sambil meraih kotak rokok. Ia menunjuk ke arah sebuah pohon mangga besar di sebelah. "Deketan juga di bawah pohon situ.

"Cuk, gak sopan!" seru Irman dengan mimik mencemoh. "Entar manuk mu bengkak, kualat!"

Agung menyulut rokoknya sambil tertawa. "Malah enak kan? Jadi tambah gede. Impian semua cowok tuh!"

"Ancen asu raimu!" Irman ikut tertawa.

Irman dan Agung melanjutkan kegiatan mereka membongkar isi carrier dan menata ruang serbaguna. Ruangannya kecil, tapi sangat lega jika cuma dipakai dua orang. Toh mereka di sini juga cuma dua minggu saja.

Menjelang isya, Dyah bersama Sekar datang berkunjung membawakan teh panas dan rebusan ketela.

"Maaf nggak ada kopi, di rumah nggak ada laki- laki," Sekar duduk di sebelah Dyah meletakkan cangkir plastik dan termos kecil.

Lalu para mahasiswa itu banyak bertanya mengenai desa Gantasan. Bagaimana keseharian penduduknya dan hal- hal lain. Sekar dengan antusias menjawab semuanya. Jelas sekali ia senang dengan kehadiran mereka.

Mereka asyik berbincang hingga tak terasa waktu berlalu dengan cepat dan malam semakin larut.

Dyah dan Sekar berpamitan untuk kembali ke rumah seberang. Irman dan Agung mengantar keduanya sampai pintu gerbang.

"Masih jam setengah sembilan," Irman melirik jam tangan Frogman di tangannya. Ia lalu beralih memandangi suasana sekitarnya. "Desa sepi amat?"

Jalanan utama telah terlihat begitu lengang. Rumah- rumah di sekitar nampak sudah tertutup. Hanya lampu- lampu teras milik warga yang menerangi. Kabut tipis menggelayut memenuhi tempat itu.

"Ya, memang biasanya begini sih," Sekar tertawa. "Orang sini tidurnya awal Mas, kan besok subuh sudah harus berangkat ke kebun. Lagian wilayah sini kan dingin, begadang cuman dapet masuk angin doang."

Lalu Sekar dan Dyah kembali menuju rumah Mbah.

Agung dan Irman yang kini hanya berdua di ruangan nampak sedang melamun tak melakukan apa- apa.  Irman telah merebahkan dirinya sambil bergelung sarung.

"Langsung tidur?" Agung masih menuang sisa teh yang telah dingin. "Masih sore ini."

"Capek ah. Lagian besok kan kita mulai nyari materi," Irman menguap lebar dan merapatkan sarungnya. Ia memejamkan mata sambil membetulkan posisi tidur.

Agung memutuskan untuk ikut tidur setelah menghabiskan sebatang rokok lagi. Ia menyandarkan badannya di tembok.

Beberapa menit berlalu, suasana terasa semakin sepi. Hanya suara jangkrik di luar terdengar menemani. Asap putih dari bakaran tembakau melayang perlahan dari ujung rokoknya.

Lalu sayup- sayup terdengar suara gamelan.

Agung terbuyarkan dari lamunanya, mencoba mendengar lebih jelas.  Betul, ada suara gamelan dan kendang. Apakah ada warga desa yang sedang mengadakan hajatan?

Tapi saat ia tiba sore tadi, tak ada satu rumah pun yang memasang terop.

Bukannya sedari tadi sepi? Lagipula siapa yang mengadakan hajatan pada jam- jam segini?

"Man, kamu denger suara gamelan enggak?" Agung menggoyang punggung Irman yang sudah setengah tertidur.

"Denger," jawabnya malas.

"Aneh enggak sih ada yang pasang musik gamelan jam segini?" Agung mematikan rokoknya yang sudah hampir puntung.

"Yang aneh tuh kalo di desa lereng gunung begini, ada yang muter System of a Down," Irman nampak sebal dan berusaha melanjutkan tidurnya.

"..."

Agung mengangkat bahunya, dan ikut berbaring di sebelah Irman. Ia menarik sarung sampai bahunya, lalu bergelung membelakangi jendela.

Sehingga ia tak melihat ada sesosok perempuan berambut panjang yang berdiri di luar.

Sedang mengamati mereka berdua.

Dengan sebuah seringai yang menyeramkan.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang