31. Membalik Keadaan

1.1K 151 19
                                    

"Man? Man?"

Agung menepuk- nepuk pipi Irman, sementara Pak Rohman berjongkok di sebelahnya.

Irman membuka matanya, mengerang pelan karena pening yang teramat. Seluruh tubuhnya berat dan seolah berputar- putar.

Ia memaksa dirinya duduk, memandangi sekeliling sambil mengingat- ingat apa yang terjadi. Namun hanya ada kegelapan. Selama beberapa saat ia membiasakan mata.

"Ini di mana?"

"Di mana? Ini di pendopo desa," Agung meng-udpate isi kepala sahabatnya.

"Pendopo?" Irman memicingkan mata. Ia mulai bisa melihat samar- samar keadaan sekitar. "Jancuk!"

Irman hampir saja melompat saat menyadari apa yang ia lihat.

Puluhan warga perempuan dan mayat- mayat berkafan tak berwajah -sedang berdiri mematung mengerumuni tempat itu.

Namun yang membuat Irman bergidik adalah sosok- sosok mahluk dari dunia lain yang bertengger di pepohonan.

"Ini- ini..?" Irman setengah berbisik.

Agung dan Pak Rohman nampak kebingungan harus menjelaskan bagaimana. Mereka sendiri tak bisa berpikir jernih dalam keadaan seperti ini.

Lalu sebuah suara lembut memecah keheningan.

"Ini semua perbuatan Panji- karena aku?"

Irman menoleh, dan mendapati Dyah dan Mbah Marni berdiri berdampingan.

"Dyah?" tanya Irman sedikit ragu.

Dyah melirik ke arah Irman sejenak, lalu menggeleng.

"Manggar?" Irman merasa sedikit kecewa karena rupanya Dyah masih belum kembali. "Lalu Dyah?"

"Maaf aku harus ikut ke sini dari sana, sebab aku harus melihat sendiri-"

"Bicaranya nanti saja," Mbah Marni memandangi sekeliling mereka. Mahluk- mahluk gaib penghuni Ijen itu mulai menunjukkan raut mengerikan.

"Mereka tak terima dipanggil ke sini, tanpa ada persembahan apapun."

Dyah mengangguk kepada Mbah Marni. "Sepertinya kita harus menenangkan dan meminta mereka pergi."

"Kamu pikir segampang itu?" Mbah Marni terkekeh, nampak tak yakin.

"Kamu lupa kita siapa?" Dyah tersenyum- balik bertanya. "Kita adalah Sekar Dalu - Wringin Kramat. Malam adalah milik kita."

"..."

Dyah dan Mbah Marni berdiri diam sejenak. Keduanya mengenakan topeng tari dan merentangkan selendang di pinggang.

Lalu suara gendang, suling dan gamelan perlahan mengiringi mereka bergerak- entah muncul dari mana.

Secara bersamaan para pocong dan warga tak berwajah juga ikut menari, berputar mengelilingi pendopo memeriahkan suasana - dengan Dyah dan Mbah Marni sebagai pusatnya.

"Hihihihi!!" suara cekikian para kuntilanak dan lainnya yang bertengger di pepohonan menggema. Mereka perlahan melayang di udara dan ikut menari gembira.

Langit dan halaman pendopo dipenuhi mahluk- mahluk tak wajar yang sedang berpesta menikmati gelapnya malam.

Mengerikan.

Pak Rohman, Agung dan Irman terduduk di lantai pendopo tanpa bisa berbuat apa- apa.

"Apa maksudmu?" Agung berbisik kepada Irman yang masih terduduk lemas. "Siapa Manggar? Bukankah itu Dyah?"

"Sebenarnya ada apa?" Pak Rohman ikut bertanya karena penasaran.

Irman mulai menceritakan apa yang ia alami selama ia tak sadarkan diri tadi. Tentang Wringin kramat, Manggar dan Marni, dan juga semuanya. Pandangannya tak lepas dari sosok Manggar - yang sedang menari menggunakan tubuh Dyah.

Beberapa lamanya suasana gamelan riuh terdengar, membuat tempat itu benar- benar seperti tengah mengadakan hajatan.

Malam semakin meninggi, dan melewati puncak.

Perlahan, aroma wangi kembang yang memenuhi tempat itu mulai memudar. Lalu menghilang sama sekali.

Begitupun sosok mahluk- mahluk penghuni gunung yang tadi memenuhi kantor desa.

Kesunyian dan kegelapanlah yang kini ganti menyelimuti pendopo, dengan cercah cahaya bulan dari sela awan tebal.

Dyah dan Mbah Marni berdiri dengan nafas terengah setelah menari semampu mereka untuk mengirim kembali para lelembut ke dunia asalnya.

"Akhirnya berakhir," Dyah melepas topeng putih pucatnya.

"Masih belum," Mbah Marni terduduk lunglai kelelahan, meletakkan topeng merah pekatnya di lantai. "Mayat- mayat ini, dan para warga.."

Dyah terdiam melihat sosok- sosok tak berwajah di sekelilingnya.

"Juga Sekar.. cucuku.." Mbah Marni menunjuk ke arah Sekar yang berdiri mematung di antara pocong dan warga tak berwajah lainnya.

"Maafkan aku," Dyah bersimpuh di sebelah Mbah Marni. "Kebencianku di masa lalu membuat Panji melakukan kutukan ini."

"Manggar, apa kamu bisa membatalkannya?" tanya Pak Rohman tiba- tiba. Ia berjalan mendekat sementara Dyah menatapnya.

"Namaku Rohman," Pak Rohman memperkenalkan dirinya. "Aku adalah kepala desa Gantasan saat ini. Dan orang- orang ini-" Pak Rohman menunjuk para mahluk di sekitar pendopo.

"-adalah wargaku. Mereka tidak bersalah."

"..."

Dyah menggeleng. "Maaf. Aku tak bisa mencabut kembali kutukan yang telah Panji lepas. Aku hanya bisa memindahkannya."

"Maksudmu?" Pak Rohman merasa akan mendengar sesuatu yang tidak bagus.

"Harus ada orang yang mau menanggung kutukan itu, menggantikan mereka."

"..."

Keheningan pekat menyelimuti pendopo beberapa lamanya. Hembusan angin lereng yang menusuk membuat suasana terasa semakin kelam.

"Gila! Mana mungkin ada yang mau kan?" Agung menatap Pak Rohman.

"Itu-" Pak Rohman tergagap.

"Kenapa tidak kamu saja yang menanggung kutukanmu sendiri?" Agung menunjuk wajah Dyah. "Bahkan sahabat kami pun menjadi korbanmu!"

"Kalau saja bisa, pasti aku akan menanggungnya," Dyah tersenyum tipis. Terdengar perasaan bersalah dari nada bicaranya. "Namun aku sudah mati. Aku tak memiliki tubuh. Kutukan ini hanya bisa dipindah pada raga yang masih bernyawa."

"JANCUK!!" Agung mengumpat keras.

"..."

"Kalaupun ada, apakah Dyah akan kembali?" tanya Irman.

"Aku akan membawa topeng Panji dan kutukan itu pergi bersamaku. Dan sukma gadis ini akan kembali kedalam raganya," Dyah mengangguk pelan.

"Apakah penanggung kutukan itu akan mati?"

"Justru sebaliknya. Kamu akan hidup- hanya untuk tersiksa selamanya," Dyah berujar lirih. "Satu orang itu akan menggantikan menerima kutukan puluhan warga ini."

"Kamu ngapain tanya- tanya gitu Man?" Agung nampak curiga dengan gelagat Irman.

"..."

Irman mematung beberapa lama. Ia menatap lekat wajah Dyah yang balik menatapnya. Wajah gadis yang selalu ceria dan telah lama dikenalnya.

Yang selama beberapa bulan terakhir- baru Irman sadar bahwa ada sesuatu yang istimewa padanya.

Senyumnya. Tingkahnya. Cerianya.

Waktu terasa begitu lama- seolah terhenti saat Irman menatap mata bulat gadis yang selalu menyenangkannya itu.

Irman menarik nafas panjang.

Mungkin, hanya inilah satu- satunya cara agar Dyah kembali.

"Biar aku yang menanggungnya."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang