8. Ditengah Hujan

1.3K 147 3
                                    

Selepas isya hujan turun dengan derasnya. Aroma tanah basah khas pedesaan menyeruak, menambah segar suasana. Bulir- bulir air mengembun di jendela menunjukkan betapa dingin saat itu.

Malam ini adalah malam kedua para mahasiswa itu berada di desa.

Dyah berada di kamar Sekar, sedang mengetik lanjutan Bab 2 tugas akhirnya pada laptop. Beberapa lembaran kertas referensi nampak berserakan di atas meja.

Rupanya di sela kegiatannya untuk membantu tugas akhir dua sahabatnya, Dyah juga masih menyempatkan diri untuk mengerjakan miliknya sendiri.

Sementara Sekar telah terlelap sedari tadi, mendekap gulingnya erat. Bergelung dalam selimut bergambar kucing hingga sebahunya.

Detik jam di dinding ruang tamu terdengar begitu keras, hingga ke kamar. Mengusir kesunyian malam di dalam rumah.

Sebagian lampu telah di matikan, membuat keadaan rumah nampak sedikit gelap.

"Nggghh.." Dyah meregangkan kedua tangannya ke atas. Ia nampak sedikit lelah.

"Udah dulu deh buat malem ini," Dyah merapikan kertas- kertas di meja, menumpuknya rapi di dekat laptop.

Ia berjalan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ritual wajib baginya sebelum pergi tidur. Dyah menyeberangi ruang tamu yang gelap, menuju kamar mandi.

Air yang sedingin kulkas membuat Dyah cepat- cepat membilas busa dari wajahnya. Setelah mengeringkan wajah dengan handuk kecil, ia pun berjalan keluar.

Lalu Dyah membeku di pintu kamar mandi.

Sekilas lalu tadi ia melihat seseorang berjalan meninggalkan dapur.

Dyah tak melihat jelas, namun ia tahu itu seorang perempuan muda berambut panjang.

"Sekar?" Dyah berjalan meninggalkan dapur, menuju ruang tamu.

Kegelapan menyambutnya. Korden di pintu kamar Sekar dan Mbah Marni nampak tertutup.

"Sekar?" Dyah kembali mencoba memanggil, lirih.

Namun tak ada jawaban.

Dyah menelan ludahnya. Entah kenapa ia merasa sesuatu yang tak mengenakkan. Lalu ia pun bergegas menuju kamar Sekar.

"Sekar? Apa kamu tadi-"

Dyah hanya menahan nafas. Ia menatap lekat sosok Sekar yang masih terlelap berselimut di ranjang. Sama seperti saat Dyah meninggalkannya tadi.

Lalu siapa sosok yang tadi ia lihat?

Tidak mungkin itu Mbah Marni kan?

"Astaga," gumam Dyah lirih. Ia segera bergabung dengan Sekar, bergelung dalam satu selimut. Dyah memejamkan matanya rapat- rapat dan berusaha untuk secepatnya tertidur.

------

Agung dan Irman nampak berbincang di ruang serbaguna mengenai kebuntuan mereka dalam mencari informasi.

Dua gelas kopi yang tinggal separuh dan puntung- puntung rokok di dalam gelas menunjukkan bahwa keduanya tengah bersantai. Dua piring kotor tertumpuk di pojok ruangan setelah makan malam tadi.

"Aneh ya? Masa sama sekali gak ada yang tahu?" Agung menghembus asapnya sambil mengingat usaha mereka seharian.

"Apa mungkin kita coba cari- cari di perpustakaan daerah?" Irman mengusulkan pilihan lain. "Barangkali di perpus kota ada info atau buku tentang itu."

"Aku kok enggak yakin nemu ya," Agung mengegeleng pesimis. "Buktinya di internet nggak ada satu artikel berbahasa indo satupun soal kesenian ini. Kalo aku lebih milih kita coba tanya ke warga deh. Barangkali ada yang belum di tanyain."

"Kalo gitu aku sama Dyah aja yang besok ke pusda," Irman menulis pesan di ponselnya, lalu mengirimkan SMS kepada Dyah. "Kalo kamu nyoba nanya- nanya warga malah bagus, jadinya nyari info nggak satu sumber."

"Oke," respon Agung malas.

Lalu tiba- tiba saja kilat membelah langit, membuat cahaya terang membuncah dari luar.

Dan seketika itu ruang base mereka menjadi gelap gulita.

"Mati lampu?"

"Kayaknya seluruh desa," Agung melirik ke luar jendela yang nampak gelap pekat. Biasanya dari sini terlihat cahaya lampu dari teras- teras rumah sebelah. "Nggak ada nyala sama sekali."

"Ya sudah, kebetulan," Irman menguap lebar, dan merebahkan dirinya di atas matras. "Aku duluan."

"Jam segini udah mau berangkat?" Agung masih duduk bersandar dengan sebatang rokok di tangan.

"..."

Beberapa lamanya Agung terjaga sendirian di dalam ruangan. Ia terus saja mengisap dan menghembus asap tembakau di sela jarinya.

Lalu saat rokok itu hampir puntungnya saja, ia pun berdiri untuk menutup korden jendela ruangan.

Langkah Agung terhenti.

Tepat saat ia berada di jendela, samar- samar ia mendengar sesuatu.

Suara gamelan itu lagi.

Dan kali ini, terdengar suara seorang perempuan yang bernyanyi mengiringi.

Suara merdu bercengkok yang tengah menyanyikan lagu berbahasa osing. Sekilas terdengar seperti langgam yang biasa digunakan untuk mengiringi tari Gandrung.

"Siapa sih malem- malem gini?" Agung mendengus sebal. Ia mendekatkan wajanya ke jendela, mencoba melihat ke luar.

-CTASSS!!

Kilatan cahaya kembali membuncah. Membuat daerah itu terlihat benderang beberapa detik.

Dan dalam beberapa detik itu, mata Agung tertuju pada sesuatu.

Di sana, di seberang jalan. Di bangku bambu di depan rumah Sekar.

Terlihat seorang perempuan mengenakan baju batik coklat, tengah duduk sendirian. Ia duduk sambil menggoyang- goyangkan kakinya, dengan kepala menunduk. Rambut panjangnya tergerai menutupi wajah.

Lalu suasana sekitar kembali gelap.

"Sekar?" Agung mengernyitkan wajahnya. "Ngapain dia malem- malem gini di sana?"

Tunggu.

Apa tidak aneh?

Malam- malam hujan begini? Di saat gelap total mati lampu begini? Apa mungkin Sekar sebegitu kurang kerjaannya untuk duduk sendirian di teras?

Lalu Agung menelan ludahnya. Ia baru menyadari bahwa suara nyanyian Osing itu berasal dari arah perempuan yang dilihatnya itu tadi.

Dan itu bukan suara Sekar.

"Asu!!" umpat Agung.

Agung segera menutup korden, dan bergegas menuju matrasnya sendiri.

Ia bergelung mendekap tas carriernya. Dan berusaha menutup matanya. Namun suara nyanyian itu tak juga berhenti.

Dan entah kenapa, terasa justru semakin dekat.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang