29. Pemilik Baru

1.1K 152 22
                                    

Sosok Panji masih melayang di udara setelah menyelesaikan ceritanya.

Marni bersimpuh di tempat. Ia menunduk dengan bulir air menetes dari sudut matanya. Tangannya menggenggam tanah dengan gemetaran.

Selama ini ia selalu bertanya- tanya, ada dendam apa Manggar kepada mereka. Ternyata, Mbak Indah dan Pak Kardi telah berbuat sekeji itu kepadanya.

Irman juga hanya bisa terdiam. Ia memang tak mengenal Manggar, namun ia juga merasakan sakit yang tak bisa diungkapkan.

"Aku akan menuntaskan dendam Manggar," Panji tertawa cekikikan. Selendang putihnya bergerak pelan seperti sayap mengembang. "Mereka semua pantas mendapatkan kutukan Manggar."

"..."

"Tak akan kubiarkan," gumam Marni pelan. Ia berdiri sambil menyeka air matanya. Lalu menatap tajam ke arah Panji. "Kau mengutuk orang- orang yang salah! Sekar cucuku, dan warga Gantasan tidak ada hubungannya dengan ini!"

Irman menelan ludah. Ia mulai bisa merasakan ketegangan yang meningkat.

"Bahkan, kau tak mengenal gadis itu kan?" Marni menunjuk ke arah Dyah yang terbelit di batang pohon beringin.

"Dialah yang menemukan aku, dan aku telah memilihnya," Panji terkekeh tak mempedulikan ucapan Marni.

"AKU AKAN MENGUTUK KALIAN SEMUA!!"

"Astaga," Irman hanya bisa berdiri, tak tahu harus berbuat apa.

Marni memejamkan matanya dengan kedua tangan menangkup di depan dahi. Mulutnya bergerak- gerak, membaca syair berbahasa Osing.

"HIHIHIHI!!"

Sebuah tawa keras terdengar dari belakang Irman. Kelana, sosok peri merah jangkung setinggi pohon itu bergerak maju dan langsung menghantam Panji dengan cakar panjangnya.

Peri putih itu pun terhempas ke tanah. Dan seketika Kelana menghujamkan cakarnya berkali- kali kepada Panji. Begitu kuatnya tenaga Kelana sehingga setiap pukulannya membuat tempat itu seperti bergetar.

Lalu semuanya hening. Panji tergeletak tak bergerak.

"Gila!" Irman berseru kagum- dan sekaligus ngeri.

Marni menoleh kepada Irman. "Kelana dan aku telah bersama selama puluhan tahun. Ikatan batin kami sudah sangat kuat. Tentu saja mudah baginya untuk mengalahkan Panji."

"Jadi, semua ini sudah berakhir?"

"Sekarang cepat kamu tolong temanmu itu-"

-DUAAARR!!!

Sebuah ledakan terdengar dari tempat Panji tergeletak. Peri putih itu kembali bangkit dan terbang ke udara. Lalu ia melesat, membentuk kelebatan putih menghantam dada Kelana.

Membuat suara benturan keras yang menggema. Kelana sampai terdorong mundur beberapa langkah.

Kelana hendak mengayunkan cakar, namun Panji kembali menghantamnya.

Sosok Panji yang berukuran seperti manusia, mampu meladeni Kelana yang berukuran raksasa. Tenaga Kelana yang sangat besar mampu dimentahkannya.

"Bagaimana bisa?" Marni nampak berpikir dengan keadaan yang mulai berbalik.

"..."

"Temanmu Dyah itu lahir tanggal berapa?" Marni berbalik, mencengkeram lengan baju Irman. "Cepat jawab!!"

"Eh? Anu-" Irman tergagap karena tak menyangka akan ditanya seperti itu. "Tanggal- 5 Maret '88?"

Marni memejamkam matanya sambil jarinya bergerak seperti tengah menghitung sesuatu. Lalu ia membuka mata, dan menghela nafas lemas. "Sabtu Pahing."

"Kenapa memangnya?"

"Temanmu lahir pada hari dengan neptu terbesar. Pantas saja Panji memilihnya," Marni menelan ludah, memandangi Kelana yang nampak kewalahan menghadapi Panji. "Kebencian mendalam Manggar dan kuatnya neptu Dyah membuatnya seperti itu."

(Neptu: perhitungan nilai hari dalam budaya jawa)

"..."

"Kamu harus tolong temanmu. Bagaimanapun caranya, bangunkan dia sebelum Panji memakan habis kesadarannya," Marni memberi petunjuk kepada Irman. "Penolakan dari Dyah akan memutus hubungan mereka, itu akan membuat Panji jauh lebih lemah."

"Iya!" Irman mengangguk singkat.

"Aku harus membantu Kedok-ku," Marni berjalan ke tepian lapangan. Ia memejamkan matanya dan membaca syair itu kembali.

Tanpa membuang waktu, Irman berlari menuju pohon beringin.

"DYAH!!" Irman memanjat pohon itu, berpijak pada sulur- sulur besar yang melintang pada batangnya. Akar- akar gantung yang kuat membantunya bergerak cepat menuju Dyah yang terlilit rambut panjang.

"Dy? Dyah!" Irman menepuk- nepuk lembut pipi Dyah yang terkulai lemas. Namun tak ada reaksi. Kedua mata Dyah masih terpejam rapat.

Irman mecengkeram rambut panjang yang membelit Dyah dan mencoba menariknya. Ternyata rambut itu sangat tebal dan kuat bagaikan sulur pohon.

"Dy? Bangun!" Irman berteriak keras sambil mengguncang bahu Dyah. Sama saja. Dyah tak merespon apapun.

"Apakah aku sudah terlambat?" batin Irman khawatir.

Tak disangka, perlahan mata Dyah terbuka. Ia mengerjap- ngerjapkan matanya memandangi sekitar -dengan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya.

"Di mana ini?" tanya Dyah lirih.

"Kamu sudah sadar?" Irman tersenyum sumringah melihat Dyah membuka mata. Ia kembali mencoba melepas ikatan rambut panjang itu.

Dyah memicingkan matanya sejenak, lalu tercengang melihat dua mahluk merah dan putih yang sedang bertarung tepat di depan matanya.

"Kelana? Panji?"

Pandangannya beralih pada seorang gadis yang ada di tepi lapangan. "Marni?"

Irman yang hampir menyentuh Dyah terdiam sejenak. Bagaimana bisa Dyah tahu bahwa perempuan itu Marni? Bahkan mengenali Kelana dan Panji?

"Dyah?" Irman menelan ludah.

Dyah melirik ke arah Irman, sedikit kebingungan.

"Siapa?"

"..."

"Namaku Manggar."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang