1. Tugas Akhir

2.2K 194 6
                                    

[Jember, 2009]

Asap panjang mengepul, membumbung memenuhi area kantin Fakultas Ilmu Budaya siang itu. Pohon- pohon rindang yang ada di sekitar, meneduhi seorang laki- laki yang sedang duduk mengangkat kaki di salah satu kursi teras kantin.

Laki- laki itu mengikat rambut gondrongnya. Beberapa kali ia menatap jam tangannya sebal. Ia paling tak suka di buat menunggu. Beberapa puntung rokok nampak berserakan di dekatnya.

Sebuah suara langkah kaki dari belakang membuyarkan lamunannya.

Ia menoleh untuk menebak siapa yang datang. Lalu ia meludah ke lantai.

"CUIH!"

"Jancuk, gak sopan blas!" Irman berjalan mendekat sambil tertawa karena reaksi temannya saat melihatnya.

"Lah mbok pikir, bikin orang nunggu satu jam itu sopan?" Agung menyisipkan kembali sebatang rokok yang hampir habis di sela bibirnya. "Ini lihat! Udah berapa rokok yang habis demi menunggu dapuranmu!"

"Sori. Sori, abis masang plat nomor tadi," Irman menunjukkan sebuah kunci motor Kawasaki.

"Mentang- mentang motor baru, asu!" gerutu Agung.

"Misuh ae matamu!" Irmam mendengus, mengambil duduk di sebelah sahabatnya. Ia meletakkan sekantong plastik berisi minuman dingin yang ia beli dari minimarket tadi. "Nih, biar dingin kepalamu."

Agung nyengir kuda sambil meraih sebotol Pepsi. Kebetulan sedari tadi memang ia sedang haus. Dan kebetulan sisa uangnya hari ini telah habis ia belikan rokok.

"Dyah mana?" Irman melongok ke arah ruang kantin yang nampak dipenuhi mahasiswa angkatan bawah. "Dia aja belum datang kan?"

"Udah dateng dari tadi. Malah dia dateng pertama," Agung menenggak minuman sodanya dengan tegukan besar. "Dia ke perpus pusat bentar."

Irman mengangkat alisnya sebagai jawaban. Ia meraih kotak rokok Agung dan menyulutnya sebatang. Terlihat mencolok karena ia duduk di dekat tanda 'DILARANG MEROKOK' yang menempel di tembok.

Beberapa mahasiswa melintas menatap mereka lekat. Namun tak berani menegur keduanya. Sebab penampilan mereka yang lebih mirip tukang tusuk orang ketimbang mahasiswa.

Agung berambut panjang bergelombang, dan suka mengikatnya kuncir kuda. Kumis dan brewok tipis yang tak terurus menambah seram penampilannya.

Irman berbadan sedikit terbentuk, dengan rambut cepak yang selalu ia tutupi dengan topi trucker usang. Ia memakai jeans vintage dan sepatu boots.

"Makin sepi aja fakultas ini," gumam Irman seraya menghembus asap ke udara.

Agung memandangi sekeliling di mana puluhan mahasiswa berlalu lalang melewati mereka.

"Bukan makin sepi. Lebih tepatnya kita yang makin ngerasa kesepian," Agung menjatuhkan puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya. "Di antara ratusan wajah para mahasiswa ini, hampir semuanya enggak ada yang kita kenal. Anak baru semua."

"Karena angkatan kita semuanya udah pada sibuk sama skripsi masing- masing," Irman menatap lurus ke kejauhan di mana sekelompok mahasiswa 2009 nampak bangga mengenakan jaket almamater mereka. "Kita ketemunya pas semipro doang."

"Rasanya baru kemarin ya kita lagi seneng- senengnya pake almamater," Agung tertawa mengingat kondisi almamaternya yang kini sudah jadi keset di kost.

"Sekarang ngampus cuman buat ngajuin judul doang, itupun kena tolak terus," Irman beralih menatap tas nya yang berisi map dan kertas- kertas.

Keduanya diam sejenak dengan botol di tangan, merasai betapa cepatnya waktu berlalu. Mereka tak menyadari seorang gadis yang berjalan mendekat dengan sebuah senyum.

"Agung, Irman, kok pada diem?" seloroh Dyah mengambil duduk semeja dengan Agung dan Irman. "Biasanya rame kayak ternak lepas."

Beberapa mahasiswa yang melintas melirik penuh perhatian ke arah Dyah, yang terlihat sangat jomplang di situ.

Dyah yang berpenampilan simple: sweater rajut dan dress selutut dipadu dengan sepatu kets. Sebuah ransel kecil, juga rambut panjang jatuh terurai. Penampilannya yang manis membuat Dyah terlihat bagai seorang putri diantara dua residivis.

"Ngapain ke perpus?" Irman bertanya.

"Ya-" Dyah menatap Irman bingung. "-nyari buku lah?"

"..."

"..."

"Nggak. Dia nggak salah jawab," Agung menggeleng. "Kamu yang salah tanya."

"Maksudku, kamu cari buku apa di perpus?" Irman memperjelas pertanyaannya.

Dyah tersenyum memandangi dua sahabatnya. Ia mengeluarkan ponsel dari tas ransel nya.

"Aku sebenarnya mau cari buku tambahan referensi tentang hal yang akan aku ceritain ini."

"Nemu?" tambah Irman cepat.

Dyah menggeleng. "Nggak."

"Terus kenapa dateng senyum- senyum?" Irman semakin bingung. "Harusnya cemberut dong kalo gak nemu?"

"Justru karena enggak nemu-" Dyah mengacungkan satu jarinya sebagai penekanan. "-artinya memang yang akan kita jadikan bahan skripsi nanti memang materi yang benar- benar baru. Belum pernah ada artikel, buku atau apapun yang membahas tentang ini."

Irman dan Agung berpandangan.

"Kamu dapet topik baru?"

"Belum pernah di bahas? Emang tentang apa?"

Dyah diam sejenak, seolah ingin memberi efek dramatis sebelum menjabab pertanyaan Agung dan Irman.

"Kita akan bahas kesenian tari dari Banyuwangi."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang