32. Perpisahan

1K 136 12
                                    

"Biar aku yang menggantikan mereka."

Semua yang ada di situ menoleh ke asal suara. Mbah Marni berdiri berpegangan pada salah satu tiang pendopo.

"Marni?" Dyah menatap lekat sahabat lamanya itu. "Kamu yakin?"

Mbah Marni mengangguk tanpa ragu.

"Tapi Mbah-" Irman nampak tak setuju. "Biar aku-"

Mbah Marni mengacungkan telunjuknya, meminta Irman berhenti bicara. Seolah mengerti, semua yang ada di situ terdiam, menunggu Mbah Marni berkata sesuatu.

"Aku sudah hidup lama sekali. Sisa usiaku mungkin sudah tak lagi panjang. Lebih baik aku saja yang menanggung semuanya. Lagipula-"

"..."

"-kutukan ini hanya berlaku bagi perempuan," sambung Dyah. "Kamu benar- benar yakin mau menanggungnya?"

"Ketimbang cucuku, maka lebih baik aku," Mbah Marni menatap ke arah Sekar di luar pendopo. Ia beralih kepada Pak Rohman. "Aku titipkan Sekar kepadamu dan istrimu. Dia anak yang baik."

Pak Rohman terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan. "Aku rasa istriku juga akan senang dengan kehadiran Sekar di rumah. Ia selalu ingin anak perempuan."

Dyah berjalan mendekat ke arah Mbah Marni. Ia menatap lekat sosok sahabatnya di masa lalu yang kini telah begitu sepuh. Bahwa sahabatnya ini akan menanggung akibat dari semua dendamnya.

"Maafkan aku Marni," Dyah membelai pipi berkeriput itu.

"Satu hal yang aku belum paham. Bagaimana bisa kedok Panji muncul? Padahal aku telah menguburkannya di bawah beringin setelah kejadian itu?" Mbah Marni nampak ingin tahu.

Dyah menggeleng. "Yang Panji tahu, tiba- tiba saja kedoknya telah berada di tangan gadis ini. Panji sendiri tak tahu bagaimana gadis ini mendapatkannya."

"Ya sudahlah," Mbah Marni menggeleng pasrah. Ia meraih kedok Panji dari tangan Dyah.

Begitu ia memakainya, maka selesai sudah.

"..."

Mbah Marni menerawang ke arah sosok Sekar yang berdiri mematung tanpa wajah. Ini adalah saat terakhir baginya untuk bisa melihat cucu kesayangannya itu. Mbah Marni menarik nafas panjang.

Tak terasa buliran air membasahi mata rabunnya.

Selamat Tinggal.

Lalu ia pun mengenakannya. Topeng Panji milik Manggar.

Sebuah teriakan parau seketika memecah keheningan penghujung malam. Pak Rohman, Irman dan Agung hanya bisa merinding melihat tubuh rapuh itu menggeliat dan meronta. Perlahan, suara itu semakin pelan dan menghilang.

Seluruh wajah Mbah Marni seolah meleleh dan mengeras di balik topeng.

Tanpa mata, hanya ada kegelapan yang menyelimuti. Tanpa hidung, ia tak bisa bernapas. Paru- parunya terasa seolah terbakar karena tak ada udara. Ia ingin menghirup namun tak bisa. Dan setiap detiknya, rasa membara itu semakin menyiksa. Ia ingin berteriak, namun ia tak memiliki mulut. Suara itu hanya meledak dalam kerongkongannya.

Rasanya ingin mati saja. Namun ia telah dikutuk untuk hidup selamanya.

Itulah yang dirasakan masing- masing perempuan yang mengalami kutukan. Dan kini, Mbah Marni menggantikan puluhan perempuan Gantasan untuk menanggungnya.

-BRUUUK!!

Para warga perempuan di sekitar pendopo mendadak bergelimpangan di tanah. Perlahan, wajah mereka muncul kembali. Bu Rohman, Sekar dan yang lainnya tergeletak tak sadarkan diri.

Pak Rohman segera berlari menghampiri sosok istrinya. Ia nampak lega karena sang istri telah kembali seperti semula.

Sementara mayat- mayat berkafan itu tetap berdiri bergeming dalam kegelapan malam.

"Aku akan pergi bersama Marni," ujar Dyah kepada para laki- laki di pendopo. " Akan kubawa semua kedok dan mayat- mayat ini kembali ke tempat asalnya. Di alam Wringin Kramat."

"..."

Sosok Manggar di dalam Dyah menatap Irman lekat beberapa lama. Lalu sebuah senyuman tipis terbersit. "Selamat tinggal."

Dan Dyah pun ikut roboh.

Agung dan Irman sigap menangkapnya sebelum tubuhnya membentur lantai.

Suara gamelan kembali terdengar. Sosok Mbak Marni yang mengenakan kedok Panji merentangkan jarik gajah oling di pinggangnya.

Ia berjalan pelan menuju tepi pendopo, lalu kakinya menapak di udara. Ia melayang- layang di antara pepohonan - seolah sedang berbicara kepada para mayat.

"Hihihihi.."

Sosok- sosok berkafan tanpa wajah di sekitar mereka ikut melayang, lalu menghilang di ketinggian dalam gelap malam.

Menyisakan keheningan pekat di tempat itu.

-----

"Kita tak bisa membiarkan para perempuan ini tergeletak di halaman kantor desa begini," ucap Pak Rohman setelah membopong istrinya ke tengah lantai pendopo. "Aku akan memanggil para warga lain yang sedang bersembunyi. Kita akan memindahkan mereka dari sini."

"Baiklah, aku akan ikut membantu samean Pak," Agung mengangguk.

"Jangan-" sela Pak Rohman cepat. "Lebih baik kalian bawa Dyah ke ruang serbaguna, atau sembunyikan ia entah di mana."

"Maksudnya?"

"Aku dan kalian, kita yang ada di sini tahu kejadian yang sesungguhnya. Sementara para warga hanya tahu bahwa sosok penari itu yang menyebabkan semua ini."

"..."

"Jangan sampai para warga melihat Dyah masih memakai baju tari ini. Salah- salah mereka mengira Dyah lah penyebabnya."

"Betul juga," Irman mengangguk.

"Bisa gawat kalau warga salah paham dan emosi," tambah Agung mengiyakan.

"Baiklah," Pak Rohman beranjak sambil menghela nafas. "Kita harus cepat."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang