19. Ke mana?

1K 132 1
                                    

-Brummm

Deru mesin tipe GL 200cc milik Agung terdengar di samping ruang serbaguna. Ia memarkir motornya di bawah pohon mangga sambil memasang wajah sebal.

Sedari tadi Agung mengobok- obok pasar, ia tak berhasil menemui orang yang ia cari

Agung membuka pintu ruang base. Ruangan itu masih kosong. Irman belum balik dari kota, dan Dyah juga mungkin masih di rumah Sekar.

"Aduh, malas banget hari ini," Agung merentangkan tangannya sambil menguap. Ia memandang suasana kantor desa yang juga tak terlalu ramai.

Sambil menunggu kedua temannya datang, mungkin ja bisa menyibukkan diri menghabiskan waktu dengan cara bermalas- malasan.

Agung merebahkan badan, menyandarkan kepala di tas carrier nya yang nyaman.

Perlahan, ia pun tertidur.

------

"Ngghhh.." Agung membuka matanya. Dan mendapati sepasang mata melotot berwarna merah menatapnya.

"JANCUK!!" Agung terjengkang bangun sambil mengumpat. Sejenak kemudian ia memandangi benda di depannya itu.

Topeng Kelana, yang tadi tergeletak tepat di dekat wajahnya.

"Asuu!! Bikin kaget aja!" Agung mengelus dadanya yang berdebar tak karuan. Sambil mengumpulkan nyawa, ia memandangi suasana di luar jendela yang nampak sedikit gelap. Awan tebal rupanya menggelayut di wilayah itu- sepertinya akan hujan deras malam ini.

"Loh, sudah sore?" Agung melihat jam tangannya yang menunjuk angka empat lewat. Ia mengusap wajahnya yang masih mengantuk- lalu ia menyadari sesuatu.

Tunggu.

"Kok topeng ini masih ada di sini? Bukannya Dyah bilang akan mengembalikan ini sama Sekar?" Agung menatap topeng kayu di dekat carrier nya itu. Ia lalu berjalan keluar base untuk menyegarkan badan.

Di luar, ia melihat Sekar yang sedang menyapu jalan depan rumahnya. Agung pun menghampiri Sekar untuk bertanya.

"Sekar, kok ruang base sepi ya? Kamu nggak lihat anak- anak pada balik?"

Sekar hanya menggeleng sambil meneruskan menyapu dedaunan.

"Dyah tadi sama kamu?"

"Enggak, sepulang dari pasar aku di rumah terus sama Mbah," jawab Sekar. Ia menyapu dedaunan menjadi satu tumpukan besar di dekat bangku bambu.

"Kok? Dyah beneran nggak ketemu kamu?"

"Nggak Mas. Sama sekali," Sekar meletakkan sapu korek nya di dekat bangku. "Kenapa memangnya?"

"Oh, nggak apa," Agung tersenyum sambil berjalan kembali ke ruang base. Ia meraih Nokia 3220 nya, lalu melakukan panggilan kepada nomor Dyah.

Suara musik ringtone terdengar keras dari dalam ruang base. Agung mengernyitkan wajahnya, berjalan mendekati asal suara.

Ia menyibak jaket Dyah yang tergeletak menutupi tas nya.

Ponsel Blackberry nya bergetar di atas matras dengan nama Agung muncul di layar.

"Loh, hape nya di sini?" Agung memutus panggilan. Ia meraih ponsel Dyah, dan melihat tasnya yang terbuka. Sebuah dompet bergambar beruang juga terlihat di dalamnya. "Bahkan dompetnya juga?"

Agung memasukkan ponsel itu ke dalam tas Dyah. Ia nampak berpikir sambil mengamati sekitarnya. "Kalo Dyah nggak bawa dompet sama hape, berarti dia nggak pergi ke mana- mana harusnya kan?"

-----

Matahari telah terbenam beberapa menit lalu. Terdengar adzan menggema di langit, bersamaan dengan angin yang sedikit kencang menghembus. Awan tebal yang sedari sore tadi menggelayut, mulai menjatuhkan rintik- rintik air.

Agung memandang luar jendela ruangan yang mulai basah. Ia mengirim pesan SMS kepada Irman untuk segera kembali.

Lalu ia berjalan ke pintu, memandang langit gelap. "Dyah ke mana sih?"

Lampu- lampu di rumah warga dan kantor desa mulai menyala. Hujan turun semakin deras membuat suara percikan di tanah yang tergenang.

Agung sedikit bergidik merasakan hawa dingin saat itu.

Ia pun merebus air panas dalam teko listrik, dengan gelas yang terisi bubuk kopi dan gula. Sebatang rokok menyala terselip di bibirnya.

Sambil menuang air panas, ia mencoba melakukan panggilan kepada Irman. Namun tak ada respon sama sekali. Mungkin ia sedang berkendara pulang.

-TOK TOK

Seseorang mengetuk pintu ruang sebaguna.

"Ya?" sahut Agung. Ia meninggalkan gelas kopinya di meja dan membukakan pintu.

"Halo, kalian?" sapa Pak Rohman ramah.

Ia membawa payung, sambil menenteng sebuah kantong plastik di tangannya. Rupanya ia sudah tiba dari Surabaya sejak sore tadi.

"Pak Rohman? Silakan masuk Pak!!" Agung menggeser dirinya dari pintu, mempersilakan kepala desa itu masuk agar tak terkena hujan.

"Wah, aromanya," Pak Rohman menghirup nafas dalam wangi kopi yang mengepul. "Hujan- hujan gini memang cocoknya bikin wedang."

"Betul Pak," Agung mengangguk ramah, menyiapkan matras untuk Pak Rohman duduk.

"Ini saya bawakan sedikit oleh- oleh," Pak Rohman menyodorkan kantong plastiknya. Lalu beberapa saat kemudian, ia bertanya.

"Kok sepi? Temen- temen mu mana?"

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang