12. Pertanyaan Besar

1.1K 124 0
                                    

"Mbah Marni pasti tahu sesuatu," gumam Dyah datar. Ia terlihat sangat serius kali ini. "Nggak. Aku yakin, dia sangat tahu soal tari kedok itu."

Agung menyandarkan badan di tembok, mengisap rokok di sela jari.

"Aku rasa dia menyembunyikan sesuatu, dan tak ingin memberitahu kita apapun," tambah Dyah. Ia menggosok bagian bahunya yang sedikit tergores. "Dan artinya kita harus mencari tahu sendiri."

Irman menghembus nafas panjang. "Mencari tahu bagaimana? Mbah Marni saja reaksinya seperti itu. Kamu mau dipukuli lagi?"

"Kita tanya warga yang lain dong," Dyah nampak gusar. Hal yang seolah disembunyikan seperti ini justru membuatnya tertantang.

"Kamu nggak inget kita seharian kemarin nanya warga pada nggak ada yang tahu?" Agung mereminder Dyah perihal itu.

"Kemarin itu kita lupa satu hal penting. Soalnya kita tidak tanya kepada warga yang seusia dengan Mbahnya Sekar," Dyah mengacungkan satu jari, membuat penekanan.

"Iya juga ya!" Irman menepuk tangannya setuju. "Betul kamu Dy!"

"Foto itu kan diambil tahun '45 an. Berarti orang yang tahu soal itu umurnya paling enggak antara 70 an tahun ke atas," Dyah meneruskan analisanya, mencoret- coret kertas di lantai. "Nah, kita hanya perlu mencari warga yang-"

"..."

"..."

"Kenapa Dy?" Agung menunggu Dyah menyelesaikan kalimatnya.

Dyah menelan ludah, menatap kedua sahabatnya lekat. "Pantesan dari kemarin aku ngerasa aneh. Ada yang janggal gitu."

Irman melirik kepada Agung, yang nampak sama bingungnya. "Janggal apanya?"

"Dari kemarin kita muter- muter nanya warga, apa kalian ngelihat ada orang tua di desa ini?" Dyah memberi pertanyaan.

"Ya Mbah Marni itu?"

"Selain Mbah Marni?" Dyah memancing logika kedua sahabatnya. "Setahuku ya, di desa- desa itu bukannya identik dengan kakek nenek? Bukannya di desa itu biasanya banyak Mbah nya?"

Irman dan Agung nampak terbelalak saat menyadari arah pembicaraan Dyah.

"Sedangkan di desa ini, hampir semuanya seusia Pak Rohman, Pak Kades kan?" tambah Dyah.

"Jancuk! Bener juga katamu!" Agung mendekatkan badannya, setengah berbisik. "Pas tadi aku keliling desa sendirian pun, rata- rata warga tertua usianya seumuran bapakku."

"Tuh kan?"

Ketiga mahasiswa itu terdiam beberapa lama. Kini justru bertambah pertanyaan yang muncul dalam benak mereka.

Ada apa sebenarnya dengan desa ini?

"Kita nggak bisa diam saja," Irman memecah suasana. "Aku akan ke rumah Pak Rohman, mencari tahu lebih dalam soal desa ini."

"Aku ikut," Agung mengangguk kepada Irman.

Dyah berpikir sejenak. "Sekalian dong, mintakan ijin kepada Pak Rohman."

"Ya?"

"Mbah Marni kan tidak mau aku tinggal di rumahnya. Aku nggak mungkin dong maksa untuk tetep di sana. Jadi mungkin untuk sementara aku akan ikut tinggal di sini bareng kalian," Dyah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"..."

"Atau barangkali Pak Rohman punya alternatif lain," Irman menambahkan.

"Oke. Kalo gitu ayo kita pergi ke Pak Rohman sekarang," Agung berdiri dari matras, mengajak Irman.

"Aku mau ketemu Sekar dulu, aku harus mindahin barang- barangku dari sana," Dyah mengintip ke arah rumah seberang dari jendela.

-----

Irman dan Agung berdiri di depan halaman rumah Pak Rohman. Keduanya bersendakep sambil menggosokkan tangan mereka karena dingin. Pintu rumah Pak Rohman masih tertutup rapat.

Pohon- pohon buah naga yang berjajar rapi terlihat benderang. Karena lampu- lampu pijarbiasanya di pasang di sepanjang kebun tanaman buah naga sebagai stimulan pertumbuhan.

"Loh, Mas- mas ini pada ngapain?" tanya Pak Rohman dari kejauhan. Ia berjalan dari arah mushola, masih mengenakan sarung dan kemeja batik.

"Selamat malam Pak," Agung dan Irman dengan kompak memberi salam dan menjabat tangan Pak Kades.

"Bagaimana penelitiannya? Mohon maaf saya tidak sempat membantu kalian berdua," Pak Rohman mengajak keduanya menuju teras rumah.

"Itu dia Pak," Irman tertawa. "Kami kepingin bertemu Pak Rohman perihal penelitian kami."

"Baiklah," Pak Rohman tersenyum. Ia mempersilakan mereka duduk di kursi teras, sementara ia meminta istrinya membuatkan wedang kopi.

Pak Rohman menyodorkan rokok kretek kepada Agung dan Irman, namun dengan ramahnya kedua orang itu menolak.

Lalu Pak Rohman menyisipkan sebatang di bibirnya, dan menyulut kretek itu dengan korek batangan.

"Nah," Pak Rohman menghembus asap putih panjang, membumbung memenuhi teras. "Kalian pingin tanya apa?"

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang