9. Topeng Panca Wanda

1.3K 144 1
                                    

Mentari bersinar lumayan cerah pagi itu. Terlihat Dyah dan Irman yang sedang berboncengan mengendarai KLX hijau menuruni jalanan.

Mereka hendak menuju Perpustakaan Daerah yang ada di pusat kota, +-45 menit dari desa Gantasan. Setelah sebelumnya mampir di sebuah warung untuk sarapan tentunya.

Pukul 09.30, mereka tiba di Gedung Pusda.

Setelah mengisi buku pengunjung, keduanya pun mulai mencari buku tentang kesenian dan budaya Indonesia, khususnya Jawa Timur. Mereka terlihat sibuk mencatat nomor katalog yang muncul di layar pencarian komputer perpustakaan.

"Lumayan banyak juga dapetnya," Dyah menyortir judul- judul buku yang akan mereka baca sebagai referensi. "Akan butuh waktu buat nyari sama baca ini semua."

"Aku mungkin juga akan mewawancarai para staff di sini," Irman membuka artikel sejarah itu, dan mengeprint foto penari kedok dan tentara sekutu pada selembar kertas. "Barangkali mereka ada yang tahu."

Setelah sepakat dengan pembagian tugas, Irman mulai berkeliling pada beberapa ruangan, memberi pertanyaan dan berdiskusi dengan pegawai pusda.

Sementara Dyah berjalan di antara lemari- lemari yang berjajar dalam ruangan. Di tangannya terdapat beberapa judul buku budaya yang sudah ia temukan.

Ruang baca perpustakaan nampak tak terlalu ramai, karena selain hari itu adalah hari kerja, juga karena masih pagi.

Dyah duduk di sebuah meja menghadap jendela, sambil membuat catatan tertentu yang mungkin bisa menjadi tambahan referensi. Ia membuka- buka halaman buku dengan cepat, membaca sekilas inti paragraf- paragraf di dalamnya.

Ia sedang membaca bab tentang tarian Jawa.
Lalu dia berhenti pada sebuah halaman dan memicingkan matanya.

Dengan tergesa ia mengeluarkan Blackberry dari dalam tas. Dyah membuka galeri ponselnya, lalu membandingkan gambar di buku dan foto artikel sejarah.

"Mirip sih," gumam Dyah, mengamati gambar pada buku dan galeri ponselnya bergantian.

Yaitu berupa gambar lima buah topeng kayu bermacam warna, yang biasa digunakan dalam tari topeng Cirebon.

Sementara di dalam foto sejarah, lima penari itu memakai topeng dengan sedikit perbedaan pada ornamen hiasannya, yang berwarna cerah khas jawa timuran.

Dyah pun membaca deskripsi mengenai gambar itu.

Lima topeng ini disebut sebagai Panca Wanda, yang menggambarkan lima fase dan sifat manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lima topeng ini disebut sebagai Panca Wanda, yang menggambarkan lima fase dan sifat manusia.

Yang pertama adalah topeng Panji. Topeng ini berwarna putih polos, dengan gurat lukisan minimalis. Topeng yang menggambarkan sifat suci seperti fase bayi.

Yang ke dua adalah topeng Samba. Topeng yang juga berwarna putih, namun memiliki ornamen hiasan 'rambut' pada bagian dahi. Topeng ini menggambarkan sifat ceria dan energik fase kanak- kanak.

Yang ke tiga adalah topeng Rumyang. Topeng ini berwarna kulit telur, dengan gurat lukis yang halus. Menggambarkan sifat lembut namun bersemangat seperti remaja.

Yang keempat adalah topeng Tumenggung. Topeng berwarna merah menyala dengan kumis, yang menggambarkan sifat tenang layaknya tumenggung, maupun orang dewasa.

Yang terakhir adalah topeng Kelana. Topeng berwarna merah pekat dengan kumis, cambang dan mata melotot. Topeng ini menggambarkan sifat pemberani, gagah dan penuh emosi bagai pengelana. Merupakan fase di mana manusia mengumbar nafsunya.

Dyah pun meneruskan bacaannya. Kini ia mengamati kostum penari Cirebon, yang memakai baju lengan pendek dan celana.

Jauh berbeda dengan pakaian dalam foto sejarah, yang mengenakan jarik kemben batik dengan bahu terbuka.

Pakaian penari kedok Banyuwangi ini lebih mirip kostum penari Gandrung, yang menonjolkan lekuk indah para penarinya.

Dyah berdiam sejenak. Entah kenapa rasanya ia tidak asing dengan kostum ini. Di mana ia pernah melihatnya?

"Kalau tidak salah-" Dyah mencoba mengingat- ingat.

Lalu ia menahan nafasnya.

Ini yang ia lihat pada foto sejarah, adalah kostum yang sama dengan sosok perempuan yang ia lihat saat pertama kali tiba di Gantasan.

Sosok perempuan yang berdiri di bawah pohon beringin, dengan patok- patok kayu mencurigakan di sekitarnya.

Jadi apakah sosok perempuan itu bukanlah ia salah melihat?

Dyah menelan ludah. Tiba- tiba saja tengkuk nya terasa seperti merinding.

Ia pun segera menoleh ke sekitarnya.

Kosong. Tak ada siapa- siapa.

Sedari tadi memang ia tahu bahwa ruang baca pusda ini memang tak terlalu ramai. Namun entah kenapa, kini ia merasa bahwa ruangan ini menjadi sepi begitu saja.

Terlalu sepi.

Hawanya tidak mengenakkan.

Dyah segera membereskan bawaannya, dan beranjak meninggalkan ruang baca. Ia meninggalkan buku- buku perpus di meja dengan tergesa, sebab ia ingin segera pergi dari situ.

"Dy?" Irman yang baru selesai berkeliling nampak heran melihat Dyah berjalan cepat keluar dari gedung. "Ngapain keburu gitu?"

"..."

"Kamu pucet amat, kayak habis ngeliat setan?" Irman tertawa, berjalan menyusul Dyah menuju motor KLX yang terparkir di halaman gedung.

Dyah menarik nafas panjang, menatap Irman lekat. "Mungkin iya."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang