26. Munculnya Sang Penari

1K 132 4
                                    

"Sekar?" Mbah Marni nampak terperangah, terpaku melihat cucunya.

Sekar menoleh, lalu berjalan mendekat ke arah Irman, Agung dan Mbah Marni dengan perlahan. Kedua tangannya terentang menggapai- gapai.

"Astaga.." Irman dan Agung tak bisa percaya dengan apa yang mereka lihat. Sekar telah menjadi tak berwajah seperti pocong- pocong di luar sana.

"Sekaar.." Mbah Marni memelas, memanggil parau dan hendak menghampiri Sekar.

"MBAH! AYO PERGI!" Agung menahan Mbah Marni.

"Itu bukan Sekar lagi Mbah!!" Irman ikut menahan Mbah Marni, mencegahnya menyongsong Sekar yang semakin dekat.

"Sekaar.." Mbah Marni meratap. Ia terus saja berusaha meraih cucu kesayangannya. "Putuku.."

"Mbah Marni.. Ayo," Agung menatap panik ke arah Sekar yang hampir mencapai mereka.

Tanpa berpikir panjang, Irman langsung meraih tubuh Mbah Marni dan menggendongnya. Perawakan Mbah Marni yang kecil kurus membuatnya dengan mudah mengangkat wanita sepuh itu.

"Ayo Gung! Bukain jalan!!" Irman meminta Agung untuk menerangi jalan mereka menggunakan senter.

Agung pun langsung berbalik menuju pintu keluar, dengan Irman mengikuti di belakangnya. Mereka hampir saja berteriak kaget begitu tiba di teras, karena barisan pocong dan warga bermuka rata bergerombol di sekitar situ.

Mereka refleks hendak berbalik, namun Sekar hampir mencapai pintu.

"JANCUK!"

"Ke base, Gung!!" Irman memberi arahan agar mereka bersembunyi di dalam ruang base yang lebih aman.

Dengan tergesa mereka segera berlari menuju ruang serbaguna yang ada di seberang. Melewati beberapa pocong yang hampir saja menangkap mereka.

"Cepat! Cepat!" Agung membukakan pintu ruang base.

Lalu begitu masuk ke dalam ruang base, mereka terduduk dengan nafas terengah. Penuh ketegangan. Pintunya memang sudah terkunci, namun rasanya tetap saja tak tenang.

Di luar ruangan kecil, hanya berbatas tembok, puluhan mahluk itu berkeliaran. Berjalan menyeret kaki mereka tanpa bisa melihat.

-SREK. SREK.

Mbah Marni duduk lemas di atas matras, bersandar pada tembok ruangan. Ia memandangi dua mahasiswa itu lekat.

"Apa yang telah kalian lakukan?"

-----

Pak Rohman terengah, mendekap anak kecil yang ia tolong tadi. Ia bersembunyi di antara barisan pohon buah naga di pekarangan rumahnya sendiri. Sementara Pak Kadir nampak termenung lemas.

Saat Pak Rohman menolong si anak, Pak Kadir ikut membantunya menghalau pocong menggunakan tongkat kayu. Mereka begerak cepat, berkelit di antara tangan- tangan yang berusaha menangkap.

Lalu mereka pun masuk ke pekarangan rumah warga terdekat.

Di saat itu lah, mereka mendengar teriakan histeris dari arah mushola. Pocong dan para muka rata telah mengerumuni dan menerobos masuk ruangan. Sebagian besar warga berhamburan menyelamatkan diri dengan memecah jendela.

Namun banyak juga perempuan yang tertangkap mereka.

"Bapaak toloong!!"

Suara anak Pak Kadir menggema di antara kekacauan. Salah satu pocong itu mengambil wajahnya.

Pak Kadir seketika berhenti di tempat, kehilangan semangat. Istri dan putrinya telah diambil mereka. Pak Rohman pun menariknya paksa, sambil menggandeng anak kecil di tangan lainnya.

"Ayo Pak!" Ia menarik Pak Kadir menuju bangunan terdekat. Mereka harus bersembunyi di manapun mereka bisa, atau para pocong itu akan menangkap mereka.

Pak Rohman mendorong pintu rumah salah satu warganya, dan segera melangkahkan kaki masuk.

"JANCUK!!" umpatnya ketika tiba- tiba sebuah tangan hampir saja meraihnya, muncul begitu saja dari dalam kegelapan.

Si pemilik rumah yang wajahnya diambil ternyata masih ada di dalam.

Pak Rohman segera menutup pintu, dan segera berbalik. Ia terus berlari bersama si anak

Bersembunyi dalam rumah warga terlalu beresiko karena ia tak tahu apakah ada mahluk itu di dalam.

Berada di luar sini juga sama saja dengan mati. Puluhan mahluk itu berkeliaran di penjuru desa, mengejar para warga yang berhamburan.

Ia dan Pak Rohman memutuskan untuk bersembunyi di antara pohon- pohon naga miliknya. Batang sulur tanaman naga yang berduri dan melebar akan menyulitkan mahluk- mahluk itu untuk meraih mereka.

Mereka sedikit menggigil karena harus duduk di tanah basah, dengan cuaca gerimis yang menusuk.

Langkah- langkah berat mahluk- mahluk itu membentuk jejak berlumpur, berkeliaran mencari warga dalam kegelapan malam.

Pak Rohman mendekap si anak kecil untuk mengurangi dingin, juga agar si anak tenang. Suara sedikit saja akan menarik perhatian para mahluk itu. Pak Kadir duduk di sebelahnya dengan pandangan kosong, termenung dengan nasib istri dan anaknya.

Si anak kecil semakin menggigil.

Pak Rohman pun juga merasakannya. Entah kenapa, tiba- tiba saja suhu terasa menurun secara tidak wajar.

Lalu perlahan wangi semerbak kembang memenuhi tempat itu.

Wangi kembang yang bercampur bau busuk para mayat berjalan. Membuat suasana semakin mencekam.

"Duh, apa lagi ini?"

Lalu Pak Rohman melihatnya.

Sesosok perempuan berambut panjang yang melangkah di jalan desa bertelanjang kaki. Ia mengenakan pernak- pernik tari, kemben jarik batik dan selendang di pinggangnya.

Dan ia mengenakan sebuah topeng kayu berwarna putih polos. Topeng Panji.

Pak Rohman menahan nafasnya. Itu adalah sosok penari yang persis seperti foto sejarah yang ditunjukkan para mahasiswa kepadanya. Sosok penari kedok, tarian yang hilang dari masyarakat.

"Jadi sosok yang dilihat Dyah dan Irman itu benar- benar ada?" Pak Rohman menelan ludahnya tegang. "Apakah semua hal ini merupakan perbuatannya?"

Penari itu berjalan begitu saja dengan tenang dan anggun di antara para mahluk berwajah rata. Gelang kakinya berkemerincing seirama langkah, seolah memberitahu kedatangannya.

Membuat para mahluk itu sedikit menyingkir untuk memberikan jalan bagi si penari. Lalu para pocong dan warga berwajah rata, mengekor di belakangnya.

"Mau ke mana mereka sebenarnya?"

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang