3. Menuju Timur

1.5K 154 0
                                    

Saat kuikuti, waktu berjalan
Saat kutanyakan, arah tujuan
Dan ketika kurasakan, ada cinta
Yang terpendam di hatiku
Terasa, oh terasa tenang
(Cinta adalah - /rif)

Ketukan drum yang ringan mengiringi salah satu lagu easy listening dalam playlist. Irman mengendarai KLX nya sambil menganggukkan kepala, mengikuti tempo yang sedang ia dengarkan dari MP3 player di saku jaketnya.

Jok motor off-road yang kurang ramah untuk pembonceng, membuat motor Irman dijadikan sebagai pengangkut barang. Dua buah tas carrier besar nampak terikat di jok belakang.

Sementara Dyah dan Agung berkendara berdua menggunakan Honda Tiger tak jauh di depannya. Agung membawa tas tambahan kecil di depan dada, sementara Dyah bertugas sebagai navigator.

Ketiga orang itu berangkat selepas siang dari Jember menuju Banyuwangi. Mereka mengambil jalur Selatan, melalui bukit Gumitir, merasakan segarnya udara pohon- pohon berusia ratusan tahun yang masih rimba.

Jember dan Banyuwangi memang secara peta merupakan dua kabupaten yang bersebelahan, namun membutuhkan waktu +-3 jam lebih perjalanan dari kota ke kota karena luasnya wilayah.

Siang itu awan tipis menggelayut, membuat cuaca sangat nyaman untuk berkendara menyusuri jalanan antar kota.

Irman dan Agung berkendara sambil mengobrol dan melempar candaan, melibas jalan yang agak lengang. Hanya sesekali mereka bertemu dengan bus dan truk, dan titik padat kendaraan, namun selebihnya perjalanan sangat lancar.

Beberapa kali Irman dan Agung berhenti di warung kecil pinggiran, menyisip segelas kopi dan rokok sambil merasakan hembusan angin persawahan di sekitar mereka.

Hehijauan lebat dan pemandangan indah sepanjang perjalanan membuat Dyah juga nampaknya menikmati perjalanan.

"Sampe mana kita?" Dyah mengaduk- aduk gelas es tehnya dengan sedotan plastik.

"Udah dua jam an lebih sih dari Jember," Agung melirik jam tangannya. "Harusnya bentar lagi sampe Banyuwangi."

"Ini daerah mana Lek?" Irman menyeruput kopi yang telah ia tuang sebelumnya di tatakan gelas. Cara minum kopi yang membuatnya semakin mirip bapak- bapak.

(Pak Lek : Panggilan Paman/ Om dalam bahasa Jawa.)

"Sini Rogojampi Mas," jawab si pemilik warung dengan logat khas Osing. "Memangnya mau ke mana?"

"Ke daerah Licin Lek," Irman meletakkan tatakan gelas yang sudah tandas.

"Mau ke Ijen tah?" tanya si pemilik warung lagi.

"Ndak Pak. Kita mau ke-" sahut Dyah sambil membuka buku catatannya lagi. "- desa Gantasan."

Si pemilik warung mengangguk singkat. "Nanti sampe perempatan patung kuda, gak perlu masuk kota. Langsung aja ambil jalan ke kiri. Terus ikutin jalan aja naik."

Irman dan Agung mengangguk berterima kasih atas petunjuk jalannya.

Dyah langsung mencatat petunjuk dari pemilik warung dalam bukunya. "Sekalian tanya Pak. Apa bapak pernah tahu tari Kedok Banyuwangi?"

Si pemilik warung hanya mengernyitkan wajahnya bingung sambil mengelap gelas- gelas yang baru selesai dicuci. Jelas sekali ia tak pernah mendengar tarian itu. "Tari Kedok?"

Dyah menunjukkan foto sejarah penari bertopeng di galeri ponselnya.

"Mulai saya kecil sampe sekarang ini, yang saya tahu tarian ya Gandrung," jawab si pemilik warung. Ia mengamati lekat gambar foto itu. "Nggak pernah tahu aku ada tari topeng di Banyuwangi."

"Oke," Dyah memasukkan ponselnya lagi.

Setelah menyelesaikan kopi dan rokok mereka, ketiga orang mahasiswa itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah kota.

Matahari mulai condong ke Barat, menyiramkan cahaya hangat. Keduanya sudah melewati batas wilayah Rogojampi.

"Yakin nih kita lanjut?" Agung mengkonfirmasi ulang kepada teman- temannya. "Pak Lek warung tadi aja nggak tahu ada tarian Kedok itu."

Dyah menoleh kepada Irman. "Gimana Man? Udah sampe sini juga?"

"Lah kok malah pada ragu? Bukannya kapan hari udah setuju semua, kalaupun di sana gak ada apa- apa?" Irman membalik pertanyaan keduanya. "Masalah ntar di sana nemu apa enggak, pikir belakangan deh. Yang penting sekarang kita nyampe Gantasan dulu."

Dyah tersenyum oleh sikap positif Irman. "Tuh, kita lanjut aja."

Setelah tiba di perempatan patung kuda, Irman dan Agung mengambil jalan ke kiri menjauh dari pusat kota.

Keduanya menyetir motor sambil terus awas mencari keberadaan rambu- rambu penunjuk arah.

Semakin lama mereka berkendara, jalanannya terasa semakin menanjak dan berkelok- kelok. Rumah- rumah yang tadinya padat kini mulai terlihat jarang.

Di kiri jalan, sesekali terlihat persimpangan jalan menuju area pemukiman. Selebihnya adalah pepohonan lebat dan rindang. Di kanan jalan, merupakan jurang dengan aliran sungai berbatu- batu besar.

Kedua motor itu terus melaju mengikuti jalanan. Hutan lebat dan sungai mulai berganti dengan perkebunan kopi yang luas membentang.

Jalanan aspalnya terasa semakin mengecil dan mulai tak semulus area di dekat kota. Banyak lubang dan bebatuan besar akibat sering dilalui truk pengangkut  belerang. Irman dan Agung terlihat sigap mengendalikan motor mereka, perlahan menghindari lubang.

Torsi mesin motor batangan terasa sangat membantu melibas jalanan ini.

"Ini kita nyasar enggak sih?" Dyah nampak ragu karena sedari tadi tak menemukan rumah.

"Gimana mau nyasar jalannya cuman ini saja," jawab Agung santai.

Dyah mencoba melihat posisi mereka menggunakan aplikasi GPS, namun tidak ada sinyal layananan internet di layar ponsel nya. Dyah melambaikan gadget itu ke arah Irman sambil menggeleng. "Nggak fungsi."

Irman tersenyum. Ia meliukkan motornya, mendahului motor Agung dan Dyah. "Kalian tunggu di sini bentar ya!"

"Memangnya kamu mau ke mana?"

Kemudian Irman berbelok, menuju sebuah jalan tanah yang mengarah ke dalam perkebunan kopi. Roda off-roadnya seketika menyalak, menggigit jalanan tanah berbatu.

Meninggalkan Agung dan Dyah yang berhenti di jalanan sepi.

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang