13. Perkembangan Informasi

1.1K 145 0
                                    

"Pak Rohman apa pernah tahu tentang kesenian tari yang berasal dari desa ini?"

Pak Rohman berpikir diam sambil mengisap rokok kreteknya. Ia lalu menggelengkan kepala. "Sepanjang yang aku tahu sejak kecil  tinggal di sini, nggak pernah ada sebuah kesenian khusus- terlebih yang asalnya dari desa ini."

"Jawaban Pak Rohman sama dengan jawaban para staff dan warga lain," komentar Irman kepada Pak Rohman.

Ia pun menyodorkan gambar print yang sama dengan yang ia berikan kepada Mbah Marni. Pak Rohman menerimanya dan mengamati lekat gambar foto itu.

Ia membaca deskripsi gambar.

"Foto ini diambil tahun '45?" Pak Rohman meletakkan gambar itu di meja. Ia menyandarkan badannya ke kursi kayu, menggosok dagunya sambil berpikir.

"Aku dan sebagian besar penduduk Gantasan yang sekarang lahir rata- rata tahun 50-60 an. Kami adalah generasi kedua di desa ini, jadi aku rasa wajar jika tak ada yang tahu mengenai kesenian itu," Pak Rohman menghembus nafas -asap putih panjang.

"Generasi ke dua?" Agung menyipitkan mata.

"Seingatku sesuai catatan kependudukan di kantor desa; Ayah dan ibu kami mulai tinggal di Gantasan sekitar tahun '51. Saat itu PTPN 12 mulai memfasilitasi para pekerja kebun kopi mereka untuk tinggal di sini, dengan kondisi rumah- rumah yang telah direnovasi," Pak Rohman mengetukkan puntung rokok kreteknya di asbak.

"Berarti kebanyakan warga Gantasan yang sekarang, merupakan pendatang?" Irman mencoba menarik benang merah. "Dan jika generasi satunya masuk ke Gantasan pada tahun '51, berarti ada jeda antara pengambilan foto ini sekitar enam tahunan?"

"Apakah selama enam tahun itu desa ini kosong?" Agung menambahkan pertanyaan. "Atau bagaimana?"

"Tidak sepenuhnya. Ada beberapa warga asli yang masih tinggal di sini saat ayah ibu kami pindah ke Gantasan," jawab Pak Rohman sambil menggeleng. "Namun banyak dari mereka sudah meninggal sekarang. Aku rasa tinggal Mbah Marni saja yang masih ada."

Agung dan Irman saling memandang. "Jadi selama jeda waktu itu, para warga asli berbondong- bondong meninggalkan desa?"

"Memangnya ada sesuatu yang terjadi?"

Pak Rohman mengangkat bahu. "Kami tak pernah memikirkan itu. Toh tidak pernah ada masalah apa- apa selama puluhan tahun kami tinggal di sini."

"Dan apakah Mbah Marni tak pernah bercerita apapun mengenai desa sebelum kepindahan para pekerja kebun?"

"Aku rasa tak pernah," Pak Rohman meraih kertas gambar foto itu, mengamatinya sekali lagi.

"Jika memang benar kesenian ini adalah budaya asli Gantasan, berarti saat ini Mbah Marni adalah satu- satunya saksi hidup tentang ini."

"..."

"Kenapa ia tak pernah bercerita kepada warga mengenai tari kedok ini?" Pak Rohman pun terlihat bingung. "Seharusnya ini bisa menjadi warisan budaya desa, atau bahkan aset berharga."

"Itu dia," Irman menunjuk jarinya. "Kami bertiga akhirnya mencoba mewawancarai Mbah Marni soal kesenian tari itu."

"Terus?"

Irman menggeleng. Kemudian ia dan Agung menceritakan semua yang terjadi pada saat proses wawancara itu. Tentang bagaimana marahnya Mbah Marni kepada mereka dan mengusir Dyah.

"Jadi saat ini, Dyah tidak ada tempat tinggal Pak," Irman menjelaskan. "Dan terpaksa untuk sementara, ia tinggal di ruang serbaguna bersama kami."

"Seharusnya aku menolak ," Pak Rohman menggelengkan kepalanya. "Tapi aku tak mungkin membawa Dyah untuk tinggal di sini, atau meminta warga desa yang lain begitu saja."

"..."

Istri Pak Rohman muncul dari dalam rumah membawa nampan dengan beberapa gelas kopi panas.

Irman dan Agung langsung paham kenapa Pak Rohman tidak mau Dyah menginap di rumahnya: Jabatan Kades memang enggak bisa dipakai melawan ibu negara.

Pak Rohman mempersilakan Agung dan Irman untuk meminum wedang nya. Ia sendiri meraih salah satu gelas.

"Jadi terpaksa aku mengiyakan opsi itu," Pak Rohman menuang kopinya pada tatakan gelas. "Yang penting aku meminta kalian untuk menjaga sikap, dan menjaga Dyah sebagai teman perempuan kalian."

"Siap Pak!" Irman dan Agung mengangguk mantap.

"Dan soal kesenian tari topeng itu, mungkin beberapa hari lagi aku akan mencoba bertanya kepada Mbah Marni," Pak Rohman menyisip kopinya. "Besok aku harus ke luar kota mengikuti pelatihan pemerintah di Surabaya."

"..."

"Tapi terima kasih, kalian mau berbagi informasi seperti ini dengan ku. Kesenian asli ini bisa menjadikan desa ini lebih baik lagi," ujar Pak Rohman tersenyum.

-----

"Memangnya ada apa sih Mbak?" Sekar duduk di matras, berhadapan dengan Dyah. Ia baru saja membantu Dyah mengangkut semua barang- barangnnya menuju ruangan ini. "Kenapa Mbah bisa jadi marah- marah begitu?

Dyah menggeleng tak tahu. " Aku sendiri juga kaget kenapa bisa Mbah bereaksi begitu."

"..."

"Gimana kondisi Mbah Marni sekarang?" Dyah mencoba bersikap biasa saja.

"Udah tenang kok. Sekarang lagi istirahat," Sekar mengangguk kepada Dyah seolah berkata semua baik- baik saja.

"Aku jadi kepikiran banget sih," Dyah menghela nafas panjang. "Soalnya, kayaknya cuma Mbah yang bisa membantu soal tugas akhir kami."

"Memangnya kalian membuat tugas tentang apa sih?" Sekar nampak sedikit tertarik dengan kegiatan para mahasiswa itu. "Aku dengar dari Mas Agung, kalian lagi buntu gitu?"

"Kita lagi mencari tahu soal kesenian tari," Dyah mencoba menjelaskan kepada gadis di hadapannya itu. "Nah masalahnya para warga enggak ada yang tahu. Dan aku rasa itu karena cuma Mbah Marni di desa ini yang tahu."

"Kalau nyari soal gandrung, barongan atau kebo- keboan, aku rasa di perpustakaan daerah banyak buku soal itu," Sekar mencoba memberi saran untuk membantu.

"Bukan, tarian yang aku sedang cari bukan itu semua," Dyah mengibaskan tangan di depan wajahnya, membuat tanda.

"Terus?"

"Ini tuh tentang tari kedok Banyuwangi. Menurut sumbernya, tarian itu berasal dari Gantasan sini,," Dyah meraih ponsel dan membuka galeri. Tangannya menscroll trackball, mencari gambar yang dimaksud.

"Tari kedok?" tanya Sekar. Wajahnya menunjukkan bahwa jelas ia tak tahu.

"Nih," Dyah menyodorkan ponselnya kepada Sekar.

Sekar mengamati lekat gambar penari dan tentara itu. Ia memicingkan matanya, mencoba melihat detail lebih jelas.

"Kamu tahu sesuatu?" Dyah sedikit berharap.

Dan sepertinya harapan itu terkabul.

"Topeng- topeng ini, rasanya aku sangat kenal," Sekar melihat ke atas, mencoba mengingat. Lalu sejurus kemudian, ia menoleh kepada Dyah.

"Mbah Marni punya topeng- topeng ini."

KUTUKAN KEDOK PANJI [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang