9

931 187 123
                                    

👑 🐰🐥 👑

👑 🐰🐥 👑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁🍁🍁

Hari Rabu jam satu siang, Elisha dan Jimin sepakat makan siang bersama. Kali pertama dia yang menentukan tempat pertemuan, ajaibnya Jimin langsung setuju. Selama ini Jimin selalu memilih tempat dan Elisha hanya menurut, tidak pernah mengeluarkan pendapatnya.

Kafe yang dipilih Elisha adalah Kookoo Bora di jalan Daechwita-gu salah satu kafe yang selalu ramai menarik pengunjung hangout di akhir pekan. Sudah lama Elisha kepingin nongkrong di sana, seperti yang biasa teman-temannya lakukan. Sayang, Jimin tidak terlalu suka tempat makan yang ramai.

Kookoo Bora beda jauh dari kafe favorit Jimin, Café de Belle, kafe Perancis dengan desain tradional namun tetap menawan, hangat dan tenang. Harga di kafe juga mahal padahal makanannya tidak enak—menurut Elisha, tapi pendapat Jimin menu di kafe itu enak tiada dua.


Pesan saja menunya dluan, meetingku belum selesai—Park Ji Min.


Elisha membaca lagi pesan 42 menit lalu itu dan tetap menunggu, menghabiskan mushroom cream sup dan dua gelas jus blueberry, tapi belum ada tanda-tanda Jimin muncul.

Dia menghembuskan napas panjang berulang-ulang, tidak biasanya Jimin seperti ini. Hidup Jimin selalu tepat waktu dan terukur, punya jadwal kegiataan sangat akurat yang diatur oleh sekretarisnya, hampir tidak pernah datang terlambat.

Satu lagi, Park Jimin ternyata tipe pria yang sangat rapi dengan urutan hidup teratur setiap hari. Elisha bahkan tercenggang saat pertama kali memasuki apartemen Jimin yang kelewat tertata, meski pria itu berdalih Joane yang melakukannya.

Apa lagi kamar tidurnya, bersih dari hal remeh temeh, dengan rak-rak tinggi berisi deretan buku-buku advokat, jurnal temuan ilmiah, ensiklopedia, buku biografi dari tokoh penting dunia, juga puluhan novel best seller dipajang di rak-rak kayu di sisi ruang yang lain.

Elisha tidak tahu kapan Jimin punya waktu membaca semua buku-buku itu, di antara jadwal padat pekerjaan sebagai pengacara.

Aku sdh makan. Kalau pekerjaanmu blm selesai, tidak apa-apa, lain kali saja—Elisha memandangi ponsel, sepuluh menit berlalu tapi Jimin belum membalas pesannya.

Jgn lupa makan, aku pulang. Pesan kedua dikirim Elisha. Dia meyakinkan diri sekali lagi kalau Jimin benar-benar tidak datang, sebelum berjalan menjauh menuju halte bus di depan.

Kabut sedingin es menyelimuti puncak gedung pencakar langit, trotoar penuh dengan coat-coat tebal. Musim dingin masih bulan depan, tapi suhu sudah nyaris beku. Elisha mengosok telapak tangan, pandangannya berhenti pada cincin rubi merah yg melingkari jari manisnya.

Pengantin Pesanan Untuk Tuan KimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang