25. Menggali Sumur

39 9 0
                                    

Hai! Langsung aja ya,
Happy Reading!
.
.
.
.
Pak Bagus berhasil menuntun ketiganya ke luar container yang kini sudah nyaris lenyap. Rayden, Kalila dan Ochan masih terkulai lemas sembari terbatuk-batuk akibat banyak menghirup asap.

"Kalian baik-baik saja?" Tanya Pak Bagus mengguratkan rona kekhawatiran.

Sembari mengatur tempo pernapasannya yang sejak tadi sudah terputus-putus, mereka mengangguk. Pun Pak Bagus bisa melihat betapa Kalila sangat melindungi sang adik yang tak lepas dari genggaman.

Sama halnya dengan Rayden, Kalila ingin mempertanyakan banyak kata. Tapi dunianya sedang bergejolak. Lidahnya terlanjur kelu dan membiru. Kata-kata itu menghilang begitu saja.

"Alhamdulillah" Tutur Pak Bagus menangis. Ia menatap lagi Kalila dan Rayden satu persatu "Kalila, Rayden.. kalian dengar saya? Kalian ingat saya?".

"P-pak Bagus?" Kalila berucap terbata-bata kebingungan.

Sementara Rayden hanya bergeming memutar ingatannya yang sedang sempit. Ia mengenal Pak Bagus sebagai pimpinan media olahraga yang beberapa kali terlibat pertemuan, tapi tak mengenalnya begitu jauh.

"Kenapa kamu nggak menghubungi aku di saat kesulitan?!" Tanya Pak Bagas kesal pada Kalila.

"K-kan Pak Bagus bukan bos saya lagi".

"Tapi, kita tidak pernah boleh putus bersillaturrahim, bukan?".

"I-iya, Pak".

Suasana sekonyong hening, hingga embusan angin malam itu terasa dingin sampai sebuah tangis pecah. Pak Bagus menangis tersedu-sedan, menatap Rayden, Kalila dan Ochan. Lalu menarik mereka dalam sebuah pelukan. Sebuah pelukan hangat layaknya orang terdekat mereka.

"Alhamdulillah Yaa Allah.. Engkau selamatkan mereka" Pak Bagus menenggelamkan kepalanya diantara mereka. Berucap penuh syukur dalam tangis dan ketakutan yang ditahannya.

Detik-detik itu dipenuhi isak tangis Pak Bagus. Pria separuh abad ini masih memeluk ketiganya erat, seolah tak ingin terpisah. Sementara Rayden dan Kalila hanya bisa bergeming sembari menelisik sendiri apa yang terjadi. Pun Ochan juga kosong, sebab ia sudah sangat kalut, berpikirpun tak bisa.

Inikah jalan tuk kembali bersama?

^^^

Malam itu, Pak Ali dan Pak Gibran menekuni kegiatan mereka setelah seharian melakukan kristalisasi keringat demi menghidupi anak-anak mereka. Beruntung Rayden sedang dalam masa senggang setelah menghabiskan lebih dari setengah tahun mengaspal dalam musim Moto 3 CEV tersebut, sehingga bisa menemani Kalila dan Ochan di rumah.

Kali ini kedua ayah tunggal itu tak menjajal kuda besi, melainkan drifting mobil. Tak hanya mereka, ada beberapa orang dari komunitas serupa yang turut melakukan kegiatan yang sama—Tak banyak, hanya ada empat sampai lima orang, sebab hari itu bukan hari libur.

Sebelum melakukan olahraga ekstrim tersebut, persiapan haruslah matang. Mulai dari kesehatan pengemudi hingga kesehatan mobil itu sendiri. Pak Ali dan Pak Gibran menghubungi salah satu bengkel untuk didatangkan seorang mekanik.

Prabu—pria 25 tahun itu menjadi kepercayaan para ayah untuk mengontrol kesehatan mobil mereka. Alih-alih menggenggam kepercayaan itu, Prabu justru memecahkannya.

Ia sengaja meletakkan bom yang sudah diberi waktu peledakan di dalam mobil tersebut. Malam yang asyik, sebagai penghilang penat itu berbuah pahit saat sebuah ledakkan menggema dan menewaskan Pak Ali dan Pak Gibran seketika. Memurungkan dunia tiga anak.

Setelah ledakan itu, Prabu yang berada tak jauh dari lokasi sempat membeku. Badannya bergetar ketakutan, lantas ia berlari melarikan diri seraya tertatih. Di tengah kepanikan, seseorang menahan lengannya. Mata Prabu yang berair, beriak saat menemukan sang kakak—Bagus Adyatama.

Ingin Pulang (Colher E Garfo)| Dowoon, Sejeong, SehunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang