"Mulai mengikuti karate sejak usia 3 tahun, pernah mengikuti lomba karate tingkat provinsi dan menempati posisi juara dua saat berusia 11 tahun, mulai mengikuti Thai-boxing saat remaja dan pernah menjadi atlet tembak nasional saat memasuki sekolah me-"
"Apa yang Anda bicarakan, Pak Adam?"
Adam menyeringai, "Anda tidak tau, bukan?"
Satya berhenti melanjutkan langkahnya menuju ke ruangannya setelah keluar dari ruang rapat pagi ini dengan Adam yang mengikuti dibelakangnya. Pria itu berbalik dan bersedekap di depan sekretarisnya itu.
"Maksud lo apa?"
"Amira. Lo tau dia punya banyak prestasi non-akademik selain ngikutin lo kemana-mana?" Ucap Adam dengan seringai menyebalkan di mata Satya membuat pria itu mendengus dan memutar bola matanya lalu berbalik guna melanjutkan perjalannya.
"Bukan urusan gue." Ucap Satya sambil mendatarkan ekspresi di wajahnya.
"Lagian lo tau dari mana itu semua? Aneh banget udah kayak detektif aja atau- penguntit lebih tepatnya.." Satya memberikan senyuman miring yang membuat Adam mengumpat.
"Sialan lo!"
Adam mendengus kesal, "Gue penasaran after that incident in the hotel. Like... you know lah.. masa iya dia nggak ada takut-takutnya waktu itu. Dan lagi lo pasti juga heran, kan?"
"lagian katanya kenal Ami dari semenjak doi baru lahir. Keliatan banget lo nggak tau apa-apa tentang Ami, kan? Kasian Ami gue.. mau-mau aja demen sama cowo otak pea kek lo!
Satya memutar bola matanya.
Meskipun begitu, untuk beberapa alasan ia membenarkan ucapan Adam dengan tidak rela dalam hatinya.Yang ia ingat adalah wanita itu dulu hanya penguntit gila yang selalu mengikutinya. Seperti waktu itu, saat libur sekolah waktu itu ia menghabiskan minggunya di rumah dan bermain di kamarnya sepanjang hari, ia berniat bermain sepanjang hari karena Amira sudah berada di rumahnya bahkan sejak dia bangun tidur. Saat itu, Satya ingin bermain bersama temannya tapi tidak ingin jika Amira ikut. Meminta gadis itu pulang juga tidak mungkin, jadi dia bermain berjam-jam dengan harapan bahwa Amira akan merasa bosan menunggunya dan pulang sendiri. Gadis itu dulu mengajaknya bermain keluar bersama tapi dia justru bermain game virtual dan hanya menjawab nanti.
Satya ingat ia waktu itu kesal karena Amira tidak kunjung pulang dan justru tetap duduk tenang dibelakangnya serta memasang wajah sabar dan polos. Ia harus memuji kesabaran gadis itu dulu dan karena kesal rencananya tentng gadis itu tidak berhasil ia menjadi kalah dalam permainan..
"Sial! Sial! Sial!!! Kalah lagi..." Satya mengumpat dan mulai memencet tombol kendali game ditangannya dengan keras. Dia melirik jam di dinding
Setengah empat, batinnya. Dia melirik gadis yang duduk dibelakangnya yang ternyata tertidur dengan tenang. Dia memperhatikan wajah lelap itu dan menghela nafas kesal. Dia beranjak dari kursinya dan membuat Amira terusik dan membuka matanya.
"Mau kemana?"
"Kakak mau ke toilet. Kamu nggak mungkin mau ikut, kan?"
Gadis itu hanya berkedip dan menggeleng dengan cepat dan menunduk sambil tersenyum dan membalas, "nggak lah. Masa Ami ikut.."Satya kemudian memasuki toilet dan setelah selesai dengan urusannya dia melihat wajahnya di cermin diatas wastafel. Dia membasuh mukanya dan mendengus kesal. Tidak bisa dipungkiri dia merasa kasihan dengan gadis itu. Dia krluar dan mengambil tas kecil dan kunci motornya di atas laci.
"Mau kemana?" Tanya Amira waktu itu lagi.
"Ayo! Katanya mau jalan-jalan sama kakak. Belum pernah ke pasar malem, kan, kamu?"
Gadis didepannya waktu itu menampilkan senyum terlalu manis untuknya membut Satya terpana beberapa saat sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira's Game
RandomSatya tidak menyangka, lima tahun dapat merubah sosok perempuan di depannya dengan sedemikian rupa. Tidak ada lagi gadis ingusan yang selalu mengapit lengannya, setiap dia didekati perempuain lain. Tidak bisa ia pungkiri, Satya sedikit terusik denga...