anniv mbak Diana 1.

675 56 0
                                    

Sorry jarang apdet.. lagi limit ide and yaa..  yang baca nggak nambah-nambah perasaan, jadi semangat nulis menurun 😞😞

Oke mulai part kali ini ibu ama bapaknya Satya tak ganti panggilannya jadi mama ame papa yah .. biar nggak mbingungin part-part selanjutnya.

***

Ibu Ida hanya bisa menggerutu kesal melihat tingkah putri sulungnya.

"Udah mama bilang nggak akan berhasil, kan, Yan?"

"Kamu, An," ibu Ida menghembuskan nafas pelan dan melanjutkan diiringi dengusan tidak elit beliau, "pura-pura nggak tau, apa susahnya, sih? Mama sama suami kamu udah cape-cape bikin surprise dari lama ini.
Dan, liat! Huh, ini baru sore aja kamu udah nanya "ngapain, sih. Bikin acara di Ritz, ma? Cuma buang-buang duit, tau." Hello?! Ini aja nggak di Marine. Kamu nggak perlu balik lagi ke Singapur. Lagian ini nggak pake uang kamu sepeserpun kali."

Diana tersenyum pelan melihat reaksi
ibunya barusan dan menjawab dengan tenang, "mama tau maksud aku bukan gitu."

"Dan mama tau, kamu tau maksud mama sama Brian bikin ini semua."

"Harusnya kamu bikin kita seneng dikit, lah."

"Udah, ma. Brian nggak masalah kalo Dian tau. Udah ketebak, sih, bakal kayak gini." Ucap Brian Yunus Cahyadi-suami Diana Sudjatmiko yang kini orang-orang lebih mengenal Diana Cahyadi- setelah itu terkekeh pelan.

"Susah emang kalo punya bini kelewat pinter." Lanjut pria itu sambil
mengelus pelan kepala sang istri sayang. "Sama kelewat cantik." Sambung Dian yang membuat suaminya tertawa lepas di sebelahnya. Tentu saja hal itu membuat nyonya besar Sudjatmiko mendengus kasar di depan mereka.

"Kalian sama aja. Mana Dewo? mama kangen sama cucu kesayangan mama satu itu."

"Bentar lagi dua, ma. Tenang aja." Sahut Brian sambil mengelus perut rata istrinya

"Dia sama nanny-nya kesana duluan. Katanya mau mantau kejutan buat mommy-nya."

"Aduuuuh... itu anak pinter banget ikut siapa, sih?"

"Emak bapaknya, lah, ma. Kalo aku bilang ikut aku udah pasti si kakak ipar bakal ngambek tujuh hari tujuh malam, lah." Sahut Satya yang rupanya sedang berniat memasuki kamarnya di lantai dua rumah megah itu.

"Eh? Sat, baru pulang?"

"Kerjaan kamu udah selese, Sat?"

"Inget pulang ternyata kamu, Satya? Mama kira udah lupa jalan ke sini." Sindir bu Ida

"Iya, bang. Udah mbak Dian. Dan aku belum se pelupa itu, ya, ma,"

"Sama kalo mau nanya-nanya nanti aja, Satya mandi sama ganti baju dulu." Ujar pria itu sebelum melanjutkan niatannya.

"Itu adik kamu, An. Kasih tau supaya nggak gila kerja mulu. Perasaan dulu waktu sama Ami nggak gitu-gitu amat. Kasian si Dewi."

"Dia udah pulang dari London dan sama sekali enggak ngabarin Dian."

Suasana ruang tamu itu menjadi hening beberapa saat.Merasa menyinggung hal sensitif perempuan yang sudah menginjak kepala lima itu mencoba mengalihkan topik.

"Papa kamu mana lagi, ini? Perasaan
mama udah bilang buat Ganang cancel semua jadwal papa kamu hari ini.  Lagian udah ada Satya di perusahaan."

"Nanti juga palingan pulang, kok, ma. Mana mungkin papa ikut acara begituan tanpa pawangnya." Goda Brian mencoba mengikuti alur mertuanya.

"Diem, mas. Itu mama mertuamu, loh."

"Iya.. iya maaf, yang. Maafkan daku ibu mertua." Pungkas Brian hiperbolis membuat ibu Ida berdecih,

"Halaaah.. sok baik kalian di depan mama."

*

Ringisan pelan keluar dari perempuan berpakaian rumahan tidak membuat Amira merasa kasihan barang sedikit pun. Ia justru berjongkok di depan wajah perempuan berambut burgundy yang sedang meringkuk di lantai apartemennya.

"Ck. Nggak usah pasang muka begitu. Gue aja nggak apa-apain muka lo,"

Amira menyentuh kaki perempuan itu.

"Hmmm... bagian rahim lo juga nggak gue jadiin target kali ini." Pandangan perempuan berambut bob itu semakin tajam. Rahangnya mengetat mengingat kejadian se jam yang lalu saat dia menemui Evan, demi melihat hasil lab adik sepupunya.

"Adek lo negatif, tapi..." ujar Evan kala itu dengan wajah serius yang membuat Amira cepat-cepat mengambil kertas hasil lab di tangan pria itu dan membacanya dan membuat rahangnya mengetat.

"Huh, gue udah ngira agen keamanan emang nggak bisa diandelin. Tapi tenang aja beasiswa lo di UI nggak gue cabut, karena lo udah jadi temen Dewi, Zacquelin." sambung Amira di depan perempuan yang lagi-lagi meringis di lantai itu. Bel apartemen yang menghentikan Amira dan membuatnya berdecak malas dan berdiri guna membuka pintu depan apartemen Zacquelin.

Mendapati pria tegap dengan pakaian formal yang sudah tidak asing di hadapannya membuatnya semakin jengah.

"Apa lagi sekarang?" Tanyanya pada pria yang merupakan mantan agen intelligence negara itu.

"Pak Hari bilang cuman mere-scedule jadwal ibu dari jam delapan nanti." Ucapan dari Sarwono Adji membuat dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 19.32 .

'Saya sudah membuat jadwal baru untuk menggantikan jadwal anda dua jam yang lalu.' Ucap sekretarisnya setelah sambungan ponselnya terhubung

"Paman emang mau resign?" Jawabnya melantur,

'Itu hanya gosip. Jangan berbuat sembrono. Kau sudah
tau masalah yang menimpamu di rapat direksi terakhir.'

"Hmm."

'Mobilmu sebentar lagi sampai di sana. Kau mau berganti pakaianmu dulu?' Sepertinya Amira tidak perlu menjawab pertanyaan ini. Dia bergegas menuju ke mercedez di depan lobi apartemen dan bergegas menuju salah satu apartemennya yang dekat dengan tempat itu untuk mengganti pakaiannya.

Segera atasan pendek berwarna putih tulang dangan celana panjang dengan motif kotak-kotak perpaduan warna maroon, gold dan mustard menjadi semakin membuat Amira terlihat  chic dengan stilleto tiga senti beserta ear-ring rancangan Rinaldy Yunardi dan tas tangan keluaran Lana Marks menjadi penyelesaian yang cerdas untuk menemaninya pergi menemui bagian masa lalu yang perlu ia hadapi nanti.

******
Wehhh.... apdet nih...

Gimana? Actionnya masih belum kelihatn emang. Padahal pake tag action. Chapter selanjutnya mungkin tak kasih, yes?

Vote?

Comment?

Recommend?

Thank you❤❤❤

Amira's GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang