Theodore White

994 62 0
                                    

Sudah sangat lama semenjak terakhir kali Theodore White merasa setegang ini. Bukan karena dia dihadapkan dengan cek bernilai ratusan juta di hadapannya. Hanya saja, kilasan-kilasan kejadian masa lalu yang berhasil menggoncangkan hati dan raganya.

'Lucy!' Seru Theo kepada gadis berusia lima tahun dengan rambut dikuncir dua yang berjarak kurang dari sepuluh meter di hadapannya. Gadis itu menoleh dan tersenyum girang. Lucy berlari kecil kearah Theo yang merupakan saudara dan keluarga satu-satunya itu.

'Iya, kak.'

Theo tersenyum dan membungkuk demi mensejajarkan tinggi badan mereka yang terpaut cukup jauh.

'Kakak harus pergi dulu ke Semarang. Ada tugas sekolah. Nanti sore bu Sumi mau kerumah sama Anggi. Kamu ikut mereka yak?'Lucy cemberut dan mengembungkan pipinya jengkel.

'Pergi lagi? Kenapa kakak pergi terus, sih? Lucy nggak diajak mulu!! Lucy ikut kali ini yak, kak.' Ucapnya dengan nada rajukkan dan wajah memohon. Theo tersenyum dan menghela nafas pelan. Ia memberikan raut penyesalan. Seakan tahu, Lucy membuang muka kesal.

'Berapa hari?'

'Kali ini nggak lama, kok.'

"Berapa hari?'

'Satu minggu.' Lucy langsung menatap kakaknya dengan raut wajah sedih.

'Maafin kakak, ya? Kakak janji habis pulang dari sana kita pergi ke Gembira loka.' Hibur Theo. Wajah Lucy seketika berbinar senang.

'Sama Anggi?'

'Sama bu Sumi sekalian.' Lucy langsung bersorak senang, ia sampai melompat-lompat girang. Melihat itu, Theo pun merasakan dadanya berdesir
hangat. Dia memang tidak dapat menjadi orang tua bagi Lucy. Tapi, ia akan melakukan apapun demi membuat adik satu-satunya ini hidup bahagia meskipun hidup sebagai anak yatim piatu.

Sorenya, ia sudah berkemas dan memakai ranselnya berniat pergi. Dia berbalik lagi untuk melihat Lucy yang sedang bergenggaman tangan dengan bu Sumi dengan tangan kanan nya dilambaikan padanya. Sekali lagi ia tersenyum dan berbalik guna menguatkan batinnya.

'Jangan nakal dan ngrepotin bu Sumi dan Anggi ya?"

'Siap, bos!!' Jawab Lucy dengan disertai dengan gaya hormat. Theo terkekeh pelan dan mengacak rambut adiknya gemas.

Sampai di terminal dia mengangkat telepon dari seseorang.

'Kiriman dua puluh kilogram. Batam-Samarinda.' Bunyi suara diujung sana.

'Iya' jawab Theo datar.

'Lima puluh juta jika kau berhasil menyelundupkannya.'

'Iya.'

Seminggu berlalu dan Theo akhirnya bisa pulang lagi ke Jogjakarta. Sampai di daerah rumah kontrakannya dia merasa bingung melihat bendera kuning di sepanjang jalan. Melihat pak Jarwo-tetangga sebelah rumahnya- dia menanyakkan tentang sesuatu.

'Sinten sing sedo,pak?' (Siapa yang meninggal, pak?)Tanyanya. Mendapat pertanyaan itu pak Jarwo memasang wajah tegang. Dia berdehem sebentar sebelum menjawab.

'Nak Theo nembe bali, to?' (Nak Theo baru pulang?)

'Mboten dikabari bu Sumi?' (Tidak dikasih tau bu Sumi?) Mendengar itu Theo menggeleng pelan.

'Adek mu sing ninggal' Tubuh Theo langsung menegang. Dia menggeleng kuat tanda tidak percaya.

'Nggak! Nggak mungkin, pak! Adikku nggak mungkin meninggal!' Tolaknya keras. Ia berlari menuju rumah kontrakannya. Dia memasuki rumah dan mengelilingi isi rumah sambil berteriak.

Amira's GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang