Perempuan yang sebentar lagi akan menginjak umur dua tiga itu akhirnya bisa menghirup udara di luar setelah keluar dari ruang interogasi untuk ditanyai selama delapan jam penuh sebagai salah satu saksi mata sekaligus korban.
"Ssstssstt..." ringisan pelan terdengar saat Amira sudah masuk ke dalam mobil hitam itu dan bersandar pada jok kursi penumpang. Perempuan itu memegang pundak kanannya disertai kernyitan tidak nyaman di antara alisnya. Hariyanto terdiam melihatnya beberapa waktu tanpa menutup pintu mobil yang ia pegang sedari tadi.
"Paman dan bibi anda sudah sampai di Jakarta."
"Paman yang cegah mereka ke sini?"
"Benar."
"Jam berapa?"
"Dua dini hari tadi."
Anggukan ia berikan dan pintu mobil itu pun tertutup kemudian.
"Kantor."
"Anda istirahat saja beberapa hari."
Amira menghembuskan nafasnya pelan. Niatnya untuk menghindari interogasi dua orang yang disayanginya harus ditelan bulat-bulat. Ia mengalihkan pandangannya ke kaca samping mobil itu. Lalu merogoh clutch di tangannya dan menyalakan data seluler. Tidak lama kemudian terdengar bunyi notifikasi dan terlihat beberapa pop-up dari banyak laman berita seputar kejadian tadi malam. Jemari lentik itu menyentuh laman berita dengan judul 'fluktuasi harga saham hotel Ritz-Carlton setelah ancaman pemboman (24/5)' mata hazel-nya terlihat melihat setiap rangkai kata yang tertulis sampai titik
terakhir berita itu sebelum memejamkan mata sekilas.
Kembali, hembusan nafas pelan itu berulang kali ia keluarkan. Sepanjang pejalanan pandangan perempuan itu tampak memperlihatkan pandangan kompleks.Amira mengernyit melihat beberapa pria berseragam hitam bertubuh tinggi tegap dengan kacamata hitam dan earphone di telinga mereka. Sayup-sayup ia dapat mendengar perdebatan di ruang keluarga
"Enggak!!!"
"Jangan kekanakan Wi!"
"No! Ini bukan kekanakan, tapi ayah yang berlebihan. Dewi nggak mau, ya, yah, diikutin bodyguard kemana-mana!"
"Apa susahnya, sih, nurutin ayah. Ini buat kebaikan kamu. Keselamatan kamu,"
"Tapi bukan gini caranya!"
"Udah Wi, yah.." sebuah suara lembut yang Amira hapal betul, mampir di telinganya.
"Ini buat kebaikan dia. Kamu tau itu, Lid."
"Tapi bukan gini caranya, yah! Dewi nggak mau jadi bahan omongan mahasiswa se-kampus! BIG NO!!"
"Kenapa kamu harus mikirin omongan orang? Ini juga buat keselamatan kamu. Lagian enggak selamanya kamu bakal diintilin para bodyguard itu."
"Kenapa ayah nggak bisa ngertiin Dewi, sih? Kenapa ayah lebih bisa ngertiin mbak Ami?! Kenapa?!!"
"Kenapa kamu bawa-bawa nama Amira?"
"Ini bukan tentang siapa yang lebih ayah ngertiin. Ini tentang keselamatan kamu."
"Udah, nak. Turutin ayah apa salahnya? Ini semua, ayah kamu lakuin karena ayah khawatir dan sayang sama kamu."
Dengusan gusar keluar dari mulut Dewi. Ia merasa sangat kesal saat ini. Dan ia merasa berbicara pada orang tuanya tidak ada gunanya. Ia hendak berbalik saat mendengar sesuatu,
"Yaampuuun.... aduh Ami kamu nggak papa, kan? Mananya yang sakit? Mereka nggak apa-apa in kamu, kan?"
Lidya terlihat memutar-mutar tubuh Amira, mengecek bagian tubuh ponakannya itu apakah ada yang luka,
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira's Game
RandomSatya tidak menyangka, lima tahun dapat merubah sosok perempuan di depannya dengan sedemikian rupa. Tidak ada lagi gadis ingusan yang selalu mengapit lengannya, setiap dia didekati perempuain lain. Tidak bisa ia pungkiri, Satya sedikit terusik denga...