24

724 48 2
                                    

 
Setelah sekian purnama, akhirnya author tobat dari hiatus karena kehidupan nyata yang lebih berat, seberat jomblowan yang baru beberapa hari ini merayakan hari patah hati nasional karena mbak Maudy udah taken.😂
Ps: Dan berhubung ada ide nyantol di kepala🤭

Ngomong2 author baru aja ngimpiin mbak Mod dapet surat penyataan patah hati dari bapak Wendy cagur tadi sore...😌

Serandom itu mimpiku😩 ada yang pernah mimpiin hal-hal random gini?

Terima kasih buat yang dari under 1k jadi 3k+ keterbacaan di tahun ini😁
🥳🥳

Author kira cerita ini nggak laku.🤧

Eh, ada yang mau komen?

Yaudahlah... lanjut.

***

  Satya tau, kehangatan yang biasa ia rasakan di dining room itu hampir mustahil untuk ia rasakan lagi. Dan meskipun Lidya Hadinata masih tetap menawarkan mengambilkan nasi ke atas piringnya dan serta makanan di atas meja dengan keramahan yang sama, Satya tau betul semua sudah berubah. Dan sialnya lagi, semua itu karena ulahnya. Mau tidak mau, dia harus terbiasa menghadapi ini semua.

"Tante denger Adit udah flight ke New York," adalah kalimat pembuka dari Lidya.

"Iya, dia balik indo buat acara kakak."

"Sayang banget padahal tante belum sempet ngobrol sama dia,"

"Tante yakin mama kamu pasti berat ngelepas anak abg nya tiap kali nganter anaknya buat sekolah di luar, meskipun udah biasa gitu dengan kamu dan kakak kamu."

Wajah prihatin Lidya yang selalu terlihat tulus itu membuat Satya semakin tidak nyaman. Ketenangan suami dari perempuan hampir setengah abad itu juga terasa seperti menelanjanginya.

"Anak-anak semakin dewasa, para orang tua harus bisa tega melepas mereka supaya anak dapat memiliki kesempatan untuk mencapai tujuan dan impian mereka masing-masing, Lid."

"Mereka perlu pengalaman sebanyak mungkin selama mereka masih muda. Hanya saja waktu tidak dapat diulang. Dan kalian harus selalu ingat, keluarga adalah bagian penting bagi hidup kalian. Jangan sampai meyesal karena terlalu mengutamakan impian dan ambisi kalian dengan melupakan keluarga." Dewanto memberi pengertian sekaligus nasehat pada istrinya dan anak muda di ruang makan itu.

"Iya, Mas. Kamu kenapa makan dikit banget De? Tambah nasi dikit. Liat udah kurus banget gitu, loh."

"Minggu lalu Dewi naik tiga ons, nda."

Lidya terlihat geram dan kesal dengan anak perempuan satu-satunya itu, "Ya ampun.. De! Tiga ons loh..Tiga ons! Nambah nasi dikit nggak bakal bikin kamu gemuk. Lagian siapa yang suruh kamu diet, sih? Fotografer itu? Dari sebelum kamu masuk dunia model, kamu nggak pernah yang mau diet juga kan? dan berat badan kamu selalu stabil, kok."

Dewi terlihat cemberut mendengar omelan ibunya, "Nda.. persaingan di dunia permodelan itu ketat, setiap saat selalu aja ada anak baru. Lagian sekarang banyak artis bisa masuk dunia ini dengan mudah. Aku nggak mau kerja keras aku selama ini dan tujuan aku sia-sia karena terhambat masalah lemak, yah.. nda."

"Dunia permodelan pun pasti mengenal namanya bakat, De.. jalan di catwalk sama di depan kamera nggak semua orang bisa, apalagi buat bertahan di dunia itu." Dewanto memperingatkan istrinya untuk tidak membahas masalah itu di depan Satya lagi apalagi saat keadaan di atas meja makan. Amira dalam diam memperhatikan adik sepupunya itu, kerutan di dahinya tampak halus memikirkan sesuatu.

"Tante benar De, jangan terlalu ketat sama tubuh kamu sendiri. You still look great. Kalau kamu tetep ngotot mau diet aja, apa perlu mas bikin appointment  ke dokter Hendra buat kontrol nutrisi kamu?" Ucapan Satya saat ia memasuki mobil pria itu benar-benar membuat Dewi kesal. Ia merasa seolah seluruh tindakannya tidak dapat dipercaya saja.

Amira's GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang