Aku ngrasa amatir abis baca lagi chapter2 sebelumnya. Banyak diksi diulang dan typo. Penulisan amburadul
Yah... gimana lagi, kan? Soalnya masih amatiran, sih..
Basi? Biarin sembari saya menulis sembari saya belajar cara menulis yang bagus boleh dong..*
Satya merupakan salah satu dari sekian manusia yang teratur, fokus dan tidak suka hal-hal yang tidak efisien. Apalagi saat sedang di dalam kantor, dimana dia diharuskan memfokuskan setiap pikiran dan tenaganya untuk setiap pekerjaan yang menantinya disini.
Karena itu, dia tidak akan membiarkan satu hal pun yang dapat mengganggu setiap kegiatan yang pria dua puluh delapan tahun itu lakukan.Hanya saja, dia tidak dapat menghentikan kegelisahan yang menghampirinya beberapa hari ini.
Hampir seminggu dan perempuan itu bahkan belum menampakkan batang hidungnya di hadapannya. Dia selalu mengalihkan atensinya setiap ada ketukkan pintu di ruangannya dan berdecak dalam hati karena tingkahnya seolah ia mengharapkan perempuan itu untuk datang ke kantornya, memasuki ruangannya dan membawakan makanan siang hasil buatannya-tentu saja Satya tidak pernah percaya akan itu- yang selalu tidak ia sentuh sama sekali, dulu.
Dulu?
Satya tercenung. Apa dia sedang menyesali putusnya hubungan antara mereka? Apa ia sudah gila? Bukankah ini lah keinginannya sejak dulu?
Satya menggelengkan kepalanya dan beranggapan bahwa mungkin ini hanya bagian dari euforia yang dialaminya karena sudah sekian lama tidak bertemu dengan perempuan itu dan kebiasaan perempuan itu untuk menempelinya setiap ada kesempatan. Sama seperti kepergian perempuan itu lima tahun yang lalu. Satya bisa menghadapinya dulu, dan dia bisa dengan sangat mudah menghilangkan perasaan tidak tenang ini sekarang.Kembali berfokus pada layar laptop-nya, Satya melanjutkan membuka dan membaca file hasil kiriman e-mail dari cabang perusahaan milik keluarga-nya yang berada di Makassar. Selang beberapa menit terdengar ketukan di pintu yang membuatnya mendongakkan kepalanya cepat. Terlihat perempuan bersurai panjang dengan atasan berupa blouse berpotongan turtle neck biru laut dan kaki jenjang nya yang berbalut soft-jeans chanel warna putih tulang membuat kulit putihnya tampak lebih bersih.
Pria dua puluh delapan tahun itu tidak perlu melihat wajah pemilik postur tubuh yang sudah ia kenal betul siapa itu. Dan entah mengapa, ia
merasa kecewa akan kehadiran tunangannya itu, kini."Mas Adam udah berapa lama, sih, kerja di sini?" Perempuan itu duduk di salah satu sofa tamu ruangnya dengan kaki yang saling bertumpuk.
"Perasaan dia kalo ama Dewi selalu judes banget, deh."
Merasa setiap ucapannya tidak mendapat respon, Dewi berdecak dan mulai melangkahkan kakinya pelan ke meja kerja Satya dan dengan kesal menutup laptop yang masih menyala di hadapan pria tersebut. Membuat pria yang menjadi tunangan lima tahunnya mendongak dengan wajah tidak bersahabatnya.
"Kalo kamu kesini cuman mau bikin mas marah mending pulang aja sana! Mas sibuk. Oke?"
Dewi memberengut sebal. "Emang mas Satya pernah nggak sibuk? Perasaan mas Satya selalu sibuk dari dulu."
"Kamu harusnya tau resikonya kalo kamu jadi tunangan mas."
"Dengan jabatan mas sekarang, kalo mas leha-leha aja justru aneh, kan?"
"Ibu tadi nemuin Dewi."
"......."
"Dia tanya perkembangan hubungan kita dan minta Dewi ikut makan malem buat ikut rayain acara anniversary pernikahan mba Diana sama mas Brian."
"Mas sengaja bikin aku kayak orang bego, yak di depan ibu, hm? Kita tunangan bukan sehari dua hari, loh. Dan mas bahkan nggak ngasih tau soal acara itu sama aku. Apa gunanya sih punya ponsel mahal-mahal? Mas nggak punya pulsa? Kuota?"
Menghela nafas pelan. Pria itu tau apa
saja yang mungkin telah dialami perempuan di depannya kini dan tidak ingin mendebatnya untuk memperpanjang masalah.***
Bukan tanpa alasan Dewi mengganggu kegiatan tunangannya di waktu pria tersebut sedang berada di kantor. Dia harus berbicara dengan pria itu untuk membahas hubungan mereka yang berstatus tunangan yang tampak terasa jalan di tempat. Itu pun karena ibu pria itulah yang mendatanginya di saat dia sedang tidak ada jadwal kuliah hari ini. Dia tidak ingin merasa tertekan sendiri atas setiap nasehat-yang terasa seperti sesi ceramah exclusive-yang ditujukan oleh ibu Ida Arum Sudjatmiko selaku ibu kandung Sasetya Dwi Sudjatmiko padanya tadi.
Calon mertuanya itu baru saja menemuinya dan menanyakkan perkembangan hubungan mereka, setelah sebelumnya memberikan senyum ke ibuan dan pertanyaan mengenai kuliahnya yang semakin membuatnya malu, dan kikuk dihadapan wanita berdarah jawa-bali itu.
"Satya sudah dewasa, dan kamu pasti tau itu. Ibu mengerti kamu masih muda, karena itu, ibu tidak memaksa kalian agar cepat melangsungkan pernikahan. Ibu hanya khawatir dengan Satya yang terlalu fokus sama pekerjaan dan lupa sama diri dia sendiri dan hubungan kalian. Kamu tau, kan dia punya mag?" Ucap beliau sewaktu itu .
"Dia aja sekarang lebih sering ke apartemen pulangnya." Lanjutny
"Nanti malem kamu datang, kan, ke acara anniv Diana sama kukuh?"
Mendengar pertanyaan itu Dewi tanpa sadar memberikan tampang bingungnya, seakan tau ibu Ida berdecak pelan, "Satya nggak ngasih tau kamu? Ck itu anak apa lupa sama acara keluarga sendiri? Kamu kalo ada waktu dateng yak? Dewo nyariin kamu soalnya."
"Iya, bu."
Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurut dan juga memasang senyum seadanya waktu itu.
Dan saat ini, untuk melancarkan aksinya, dia berniat mencari kado untuk kakak dan kakak ipar tunangannya setelah memaksa masuk
ruang kerja pria tersebut."Kamu tidak perlu kasih kado buat mbak Di, kamu dateng aja mbak Dia pasti seneng, kok."
"Mas Satya lagi ngledek yak?" Dewi berbalik dari jejeran kue yang tertata rapi di etalase sebuah toko patiseri di Grand Indonesia dan berbalik menghadap Satya yang sedang mengangkat salah satu alisnya hasil dari pernyataannya tadi.
"Loh, mas ngledek apa coba?"
"Dewi cewek ter-nggak pernah sibuk di dunia. Mana mungkin Dewi nggak dateng, kan? nggak kaya mas Satya yang selalu dicariin ribuan orang." Sidir perempuan itu,
Mereka memasuki sebuah restoran Jepang disana. Perempuanitu mengedarkan pandangan dan menemukan sosok yang ia kenali san menarik Satya agar mengikutinya ke satu-satunya meja yang tidak penuh.
"Aku sama mas Satya boleh duduk sini, mbak?"
Satya memperhatikan perempuan berpotongan bob itu yang tenyata telah menjadi penghuni tetap dalam pikirannya belakangan ini.
*****
VoteComment
Recommend
Love you❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira's Game
RandomSatya tidak menyangka, lima tahun dapat merubah sosok perempuan di depannya dengan sedemikian rupa. Tidak ada lagi gadis ingusan yang selalu mengapit lengannya, setiap dia didekati perempuain lain. Tidak bisa ia pungkiri, Satya sedikit terusik denga...