Obrolan dengan suasana rasa medan pertempuran itu terlihat belum akan reda sebelum sosok Danar Sucipto yang terlihat asing meski dengan penampilan tidak kalah berkilau dari kerumunan itu. Pria itu mulai mendekati istrinya dengan wajah dingin serta sekretaris perempuan yang terlihat memakai gaun formal di belakangnya mengintrupsi.
"Bisakah saya berbicara dengan istri saya?" Tanya Danar dengan wajah yang terseyum tipis pada gerumbulan itu.
"Ha-hai sayang kamu akhirnya dateng juga," Lily memasang senyum kaku dan mendekati suaminya serta tangan kanannya bergerak secara alami di lengan suaminya. Ia terlihat melirik sekretaris suaminya dan membuang muka saat mendapat gestur peringatan oleh pria yang sangat dicintainya itu.
"Selamat untuk Diana, dan Brian. Maaf saya datang terlalu malam."
"Istri saya terlihat sangat lelah dan sebaiknya kami pulang dulu."
"Nggak usah merasa nggak enak, Nar. Istri kamu butuh refreshing dengan teman-temannya. Pulang agak malam bukan hal yang buruk dengan orang-orang dekat." Diana tersenyum tenang menghadapi suami temannya itu.
"Betulkah?" Danar kembali melirik istrinya yang terlihat langsung menunduk dalam.
"Kurasa begitu." Monolog pria awal tiga puluhan itu sembari mengedarkan pandangan pada orang-orang disekitar istrinya. Pandangan dinginnya seketika terlihat seperti perintah 'bubar jalan' gerombolan itu. Putri Ranggeni terlihat memasang wajah kesal dan dengan terpaksa mulai menggundurkan diri. Disusul beberapa orang berpenampilan 'perlente' lainnya membuat Lily terlihat canggung.
"Apa kabar, Mas?" Sapa Satya pada salah satu senior pebisnisnya dalam bidang Real Estate itu.
"Baik. Sangat, baik." Danar terlihat melihat Dewi di samping Satya, sebelum melirik Amira yang menikmati minuman di gelas baru itu.
"Kau di sini rupanya." Suami Lily Stefanie yang sekarang menyandang nama belakang Sucipto itu terlihat memasang senyum tipis yang jarang terlihat setelah pernikahannya pada Amira yang mendapat balasan perempuan berambut bob itu dengan senyuman menawan dan kernyitan di dahi Satya pada ke duanya.
"Yes, i am." Lily terlihat mendongak dan memberikan tatapan menyelidik pada ke duanya yang tidak jauh berbeda dengan Diana dan Suami, serta adik dan sepupunya.
"Pantas saja ibu bersemangat membuat acara morning tea dan berniat mengundang para wanita lajang." Orang-orang di sana semakin mengernyit selain Amira dan Satya yang sedikit terusik dengan pembahasan kali ini. Perempuan itu meringis mengingat ibu Danar yang sangat bersemangat menjodohkannya dengan putra ke duanya sejak pertemuan mereka di Manchester tiga tahun lalu. Undangan tidak resmi untuk acara bersantai dengan niat terselubung bernama perjodohan sudah mulai sering dia dapatkan semenjak status lajang dan sendiri nya beberapa tahun belakangan secara resmi ia sandang.
"Kau mungkin akan cocok mengobrol dengan Dera. Mengingat hobi kalian yang tidak biasa. Ah, ibuku akan sangat senang akan kehadiranmu Selasa depan." Ucapan 'tidak biasa' yang terlontar pria di depannya kembali membuat orang-orang di sana semakin bingung sementara perempuan itu semakin meringis kecil mengingat kembali masa-masa kenakalan remaja nya.
Ia lupa, pria di depannya adalah salah satu dari tiga orang pria yang bisa membungkamnya. Ia seharusnya sudah menyingkir sejak melihat pria ini."Tunggu! Mas Danar kenal Ami?" Tanya Diana heran.
"Yah, awal pertemuan yang cukup berkesan. Ia juga sempat menjadi tetangga saya saat di Cambridge."
"Jadi pertemuan berkesan apa yang mas dan Amira bicarakan, ini?" Lily mulai tersulut rasa cemburunya.
"Ini bukan sesuatu yang benar untuk memperdengarkan privasi orang. Dan
ini mengenai Dera juga." Ucapan itu membungkam perempuan awal tiga puluhan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira's Game
RandomSatya tidak menyangka, lima tahun dapat merubah sosok perempuan di depannya dengan sedemikian rupa. Tidak ada lagi gadis ingusan yang selalu mengapit lengannya, setiap dia didekati perempuain lain. Tidak bisa ia pungkiri, Satya sedikit terusik denga...