"Kenapa kita pulang, mbak Ra?"
"Aku belum menawarkan bibi Amira untuk menjadi bodyguard-ku.." Ratna meringis kecil mendengar ucapan bocah dalam gendongannya itu. Bekerja dengan kalangan keluarga konglomerat selama beberapa tahun membuatnya cukup mengerti pakaian perempuan yang akan ditawarkan pekerjaan menjadi seorang bodyguard
itu yang terlihat biasa saja-baik itu kaos lengan pendek serta mom jeans berwarna biru gelap-itu hampir setara harga satu motor sport. Belum lagi hoodie abu-abu yang terlihat dipegang oleh Amira saat menghampiri paman bos kecilnya itu, membuat ia bertanya-tanya, apakah para orang kaya ini kebingungan untuk menghabiskan uang mereka? Karena jika jawabannya iya, ia akan dengan senang hati menerima sumbangan dari mereka.Dan dia tidak yakin bocah dalam gendongannya tahu apa yang baru saja ia pikirkan itu. Dia juga tidak yakin berapa total rupiah bahkan mungkin dollar yang harus di gelontorkan untuk mempekerjakan perempuan tadi. Meskipun bocah itu berasal dari keluarga yang tidak biasa-biasa saja, mengingat gaji dalam kurs dollar yang ia terima setiap bulannya.
Sementara itu, Satya masih terlihat menebarkan aura dinginnya di balik kemudi yang baru saja ia tempati itu. Pria itu masih ingat percakannya dengan perempuan tadi, saat berniat meninggalkan rumah minimalis itu.
"Aku nggak bakal tanya maksud kakak bilang tadi itu apa, karena aku tau kakak nggak bakal jawab ucapanku. Aku juga nggak bakal nanya kenapa kakak cepet banget sampe sininya," jeda perempuan itu dengan senyuman miringnya yang baru pertama kali ia lihat dan entah mengapa membuatnya sangat kesal.
"Aku cuman pengen ketemu Dewo aja."
"Maksud kamu?" Tanyanya saat itu,
"Bukannya Kak Satya yang nge-chat, kalo Dewo mau ngomong sama aku?"
Dirinya akhirnya menatap perempuan itu dengan seksama, "aku rasa Dewo udah nggak ada keperluan denganmu."
"Don't be so ridiculous, lah."
"Yang ada perlu denganku keponakanmu, dan kakak enggak bisa berlagak seperti kakak adalah orangnya."
"Why not? Aku pamannya. Selama ia bersamaku secara tidak langsung, aku adalah walinya. Ia akan setuju dengan ucapanku." Ucapnya membalas, meskipun tau keponakannya nampak memperlihatkan tatapan protes.
"Are you kidding, me? Aku nggak ada urusan dengan kakak. Urusanku adalah dengan Dewo. Lagipula jangan bersikap seperti kita sedang dalam lingkungan sekolah membawa kata 'wali' di sini."
"So funny, jadi setelah kabur selama lima tahun. Kamu sepertinya sudah pandai mendebatku? Dewo tidak ada urusan denganmu. Ratna, bawa keponakanku masuk ke mobil dulu!" Perintahnya tegas megakhiri perdebatannya tadi, menghiraukan kernyitan perempuan berambut bob itu saat setelah mendengar kata 'kabur'.
Satya tidak habis pikir. Mengapa ia bisa seimpulsif itu dengan mengomentari kehidupan Amira. Tidak masuk akal saat ia mau saja memperdebatkan hal konyol dengan perempuan itu, dan lebih tidak masuk akal lagi saat ia merasa kesal dengan sikap perempuan itu padanya tadi.
Mungkin dia hanya belum terbiasa melihat kedekatan perempuan itu 'secara fisik' dengan pria lainnya?
Satya menggelengkan kepalanya pelan.
Harusnya, ia hanya mengantar keponakannya bertemu dengan Amira untuk membahas hal yang entah apa itu. Lalu pulang mengantarnya dengan selamat, sebelum kembali ke kantornya lagi dengan di antar oleh sopir pribadi keluarganya. Iya... seharusnya hanya seperti itu.
Ia tidak perlu membuang tenaganya dengan adu urat yang sangat tidak penting tadi. Satya akhirnya menghela nafasnya pelan lalu mengalihkan pandangannya pada Dewo yang seperti sedang merasa kesal dan takut padanya. Ia tersenyum kecil,
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira's Game
RandomSatya tidak menyangka, lima tahun dapat merubah sosok perempuan di depannya dengan sedemikian rupa. Tidak ada lagi gadis ingusan yang selalu mengapit lengannya, setiap dia didekati perempuain lain. Tidak bisa ia pungkiri, Satya sedikit terusik denga...