Berlayar hampir enam bulan lamanya dari Singapura ke Bali memberi rasa letih yang menyenangkan bagi Bima. Sudah lama sekali rasanya ia tak menghirup udara dari Indonesia, terkhusus Bali. Walaupun pada dasarnya kadar oksigen setiap dunia itu sama, tapi akan ada sensasi lain jika dari tanah kelahiran. Sayangnya, bagi Bima Bali bukanlah tanah kelahiran. Pria asal Jakarta itu hanya sudah lama menganggap Bali adalah tanah lahirnya.
Setelah lulus sekolah taruna grade tiga, Bima tak langsung sambung belajar ke grade satu. Ia memilih mencari pengalaman dengan bekerja di kapal feri lintas Banten-Sumatera selama setahun. Di tahun berikutnya, ia mendapat tawaran kerja di kapal cargo yang mengangkut barang ekspor-impor ke Peru. Hampir tiga tahun ia di laut lepas kala itu. Sampai ia memutuskan istirahat selama setahun di Jakarta. Namun, kecintaannya pada laut dan ombak membuat ia kembali ke perairan Peru. Ia juga berniat melanjutkan sekolah ke grade satu agar bisa menjadi nahkoda seperti impainnya. Pun karena ada luka yang mendalam kala ia balik ke tanah Jakarta. Luka itu membawa ia kembali ke akademik kelautan di Serang. Dan sampai saat ini, setelah sebuah sembilu menggoreskan luka di sana, ia belum pernah lagi menginjak tanah Jakarta.
Bima keluar dari kediamannya yang tak jauh dari pantai dengan membawa papan selancar. Pria yang bertelanjang dada itu melangkah santai sembari menyapa para pejalan kaki yang ikut berlalu lalang. Begitu tiba di bibir pantai, ia membuka kacamata dan sandalnya. Diletakkannya sembarang di pasir. Ia menatap datar ke laut lepas. Menarik oksigen sebanyak-banyaknya dan mengembuskannya secara perlahan. Di bawah sinar matahari sore itu, ia siap melawan ombak dengan papan selancar kesayangannya yang sudah dianggurin selama hampir enam bulan ini.
Kaki telanjang Bima telah terkena air laut. Pria itu terus melangkah sampai lututnya sudah tenggelam. Ia meletakkan papan selancar di atas air lantas naik ke sana. Kini, ia benar-benar siap bermain dengan ombak yang tidak terlalu ganas.
Senyum Bima mengembang kala wajahnya merasakan terpaan angin laut. Percikan air pun ikut menyapa wajah berkulit kuning langsat yang terbakar itu. Sungguh ini nikmat yang luar biasa. Hari ketiga di tanah Denpasar kali ini cukup baik untuknya. Dan kegiatan tersebut berhasil mengalihkan pikirannya dari kisah cinta masa lalu yang menyakitkan. Bima hanyut akan suasana segar yang diciptakan oleh belaian alam.
Di bibir pantai sana, seorang gadis baru saja memilih lapak untuk bersantai di atas pasir. Ia meletakkan tote bag dan jas putih KOAS-nya di sisinya. Sekantung kecil somay dan segelas plastik es kuwet akan menemaninya melihat sunset. Momen ini adalah hal yang begitu indah untuk memanjakan mata. Jika nanti ia kembali ke Jakarta, ia hanya bisa melihat sunset dari sela gedung-gedung tinggi. Maka, selagi di Bali, ia harus menyempatkan diri menikmati keindahan lukisan yang Tuhan ciptakan.
Dari tempat ia duduk selesehan, ia melihat laut lepas yang terdapat beberapa orang sedang mandi dan berselancar. Ia tersenyum indah kala melihat pria dan wanita beradu melawan ombak. Dirinya tak tahu apakah mereka sedang berlomba atau hanya bermain solo. Yang ia tahu, orang-orang di sana sedang menikmati keseruan deburan ombak dan terpaan angin.
Matanya membulat kala ia menyadari salah seorang peselancar. Senyumnya mengembang kala sadar bahwa Tuhan pasti sengaja mempertemukannya dengan pria tersebut. Dari awal membaca cerita itu, ia sangat yakin bahwa Tuhan mengirim pria itu untuk kesuksesannya. Maka dari ketidaksengajaan ketiga ini, ia membulatkan tekadnya untuk terus pepet kapten kegemarannya itu. Ah, tidak! Selama ini ia baru bertemu satu kapten, yakni Kapten Bima Ahmad Fairuz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Terlalu Dalam
RomanceKenakalan anak-anak bermain di dermaga membuat Khansa menemukan buku bersampul kulit sintetis berwarna biru laut. Ia jatuh cinta pada kisah di dalam sana. Membuat ia yakin bahwa Tuhan membawanya ke arah impiannya. Membantu Khansa ternyata menjadi pe...