Bab 1

17 2 0
                                    

Dokter adalah sebuah profesi yang amat mulia. Namun, ini bukanlah cita-cita Khansa sedari kecil, melainkan kedua orangtuanya mengharuskan setiap anak menjadi dokter. Papa dan mamanya punya impian membangun keluarga dokter sehingga Khansa harus mengorbankan keinginannya. Ralat! Tidak semuanya dikorbankan. Menurut mamanya, impian Khansa pasti akan terwujudkan jika ia menekuninya. Menjadi seorang penulis bisa dilakukan sampingan dengan pekerjaan utama. Sayang, sampai saat ini ia belum punya waktu luang untuk melanjutkan naskah-naskahnya yang terbengkalai.

Khansa masuk ke rumahnya begitu matahari sudah lelah menggantung di ujung barat. Langit yang jingga kemerahan menandakan hari akan segera usai. Kakinya melangkah ke kamar dan merebahkan diri ke ranjang minimalis miliknya. Helaan napas lega terdengar begitu tubuhnya menyentuh kasur berbahan busa empuk. Belaian lembutnya seprai membuat kantuk menerjang. Sayang, ia tak boleh langsung tidur. Dirinya harus segera bersih-bersih dan bersiap untuk makan malam. Jika dituruti nafsu kantuknya, dipastikan ia akan melewatkan makan malam.

Iris cokelatnya menangkap jemuran pagi tadi belum diangkat begitu kakinya keluar dari kamar mandi. Ia melangkah ke ruang laundry yang menghadap ke taman belakang. Ia mengangkat satu per satu jemuran tersebut. Dan tangannya mengudara saat hendak menyentuh jaket berbahan taslan. Di sana terdapat embos logo salah satu PT perairan terbesar di Indonesia. Senyum terbesit di bibirnya kala mengingat kisah cinta yang dibacanya dari buku bersampul kulit sintetis tersebut. Rasa penasarannya pun kembali membuncah. Ia masuk ke kamar lantas mengambil buku itu dan membuka lembaran demi lembaran. Ia yakin, ada informasi berikutnya pada buku ini yang bisa membawanya masuk ke cerita cinta yang mengharukan dan mengenaskan tersebut.

Sayang, tak ada apa-apa di sana. Pada halaman berikutnya hanya terdapat beberapa catatan yang tak ada hubungannya dengan kisah cinta Bima dan wanita misterius tersebut.

“Aish! Gue penasaran banget ini. Masa iya harus tanya langsung ke orangnya. ‘Kan nggak sopan,” rutuk Khansa melempar pelan buku itu ke meja. Ia juga menyandarkan sebelah tangannya di sana. “Ah, gue sudah enggak sopan dari kemarin karena baca buku ini tanpa izin. Jadi, mencoba nggak ada salahnya, ‘kan?” tanya Khansa dengan rasa percaya diri yang besar.

Khansa mengambil cardigan selutut yang terbuat dari rajut. Ia mengenakannya untuk menutup cropped top dan hot pants berbahan jeans. Dimasukkannya ponsel dan dompet ke saku cardigan. Juga buku kulit Bima ke jaket milik pria tersebut. Ia membawanya keluar rumah. Tujuannya adalah Pelabuhan Benoa. Ia berharap pria tersebut ada di sana. Sekadar memeriksa kapal atau memang menetap sejenak di sana. Menurut mata memandang, ia kemarin turun dari kapal pesiar yang biasanya membawa penumpang tur ke Singapura.

Sayang, saat ia tiba di sana, ia tak menemukan pria tersebut. Helaan napas memburu pertanda ia lelah berlari. Mulutnya sedikit menggerutu atas kesialannya malam ini. Lantas, ia harus mencari pria itu di mana? Bali lumayan luas. Tidak mungkin ia menelusuri penjuru Bali untuk menemukan pria tersebut. Pun ia tak tahu kapan kapal akan berangkat lagi sehingga ia bisa bertemu Bima.

“Uh, lapar!” bisik Khansa saat merasakan perutnya bergemuruh. Ia memutuskan untuk mengunjungi salah satu restoran laut di dekat pelabuhan. Lebih baik ia makan dulu sebelum kembali lagi ke Pelabuhan. Jika saat ia kembali Bima tak kunjung ditemunya, ia akan memutuskan pulang dan kembali besok pagi sebelum berangkat ke rumah sakit.

Khansa duduk di meja yang menghadap laut lepas. Angin sepoi-sepoi menggelitik kulit pipi serta membuat rambutnya yang terurai beterbangan. Ia menarik karet rambut dari pergelangan tangannya dan menguncir rambut. Kini, ia siap menyantap makanannya.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang