Bab 20

2 2 0
                                    

Lepas dari segala proses pembelajaran sangatlah melegakan. Tidak harus tidur dan bangun terlalu cepat, tidak harus buru-buru, dan yang penting tidak harus mendengar alarm di pagi hari. Khansa malah menarik selimutnya semakin ke atas begitu matanya menangkap cahaya matahari dari balik jendela kamar. Berleha-leha di masa libur sangatlah menyenangkan. Apalagi mengingat balik dari Bali dan usai wisuda ia harus melakukan internship, sehingga memiliki waktu libur seminggu sangatlah berharga baginya.

Di depan sana, Khansa mendengar pintu rumahnya digedor-gedor dengan iringan suara belum yang saling saut-menyaut. Ingin rasanya ia tak menghiraukan suara tersebut, tapi ia takut ada hal penting. Dengan bersusah payah, ia membuka matanya sambil meraba karet rambut. Diikatnya rambut yang sedikit berantakan itu dengan mata yang belum terbuka sempurna. Saat pintu terbuka, ia berseru kesal karena Bima berdiri di hadapannya sepagi ini. “Ada apa, sih, Kapten? Ini hari libur, sarapan nanti jam sembilan, ya,” sembur Khansa lantas menutup kembali pintunya.

Namun, sebuah tangan kekar dengan cepat menahan pintu tersebut. Dengan wajah menyelip di antara pintu yang terbuka hanya sedikit itu ia berkata, “Kan kita janjian mau nyelam. Jadi nggak, nih?”

Pikiran Khansa bak laptop lama yang membutuhkan waktu untuk loading saat dihidupkan. Saat ia teringat kegiatannya kemarin, lantas matanya langsung terbuka lebar. “Mau berangkat sepagi ini?” tanya Khansa kebingungan.

Bima membuka pintu rumah yang tidak dikuasai Khansa lagi. Ia mengarahkan dengan lembut kepala gadis itu ke arah jam dinding. Di sana sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Mau nyelam jam berapa, Ibu Dokter? Emangnya kamu mau kulit putih kamu terbakar nyelam tengah hari?” tanya Bima yang suaranya tepat di samping telinga kanan Khansa.

Keduanya menyadari tak ada jarak di antara mereka. Jika Khansa bergerak sedikit, bisa dipastikan bibir Bima menempek di pipinya. Mendapati mereka di posisi demikian, membuat jantung Khansa berdegup keras. Tangan dan kakinya pun menjadi dingin akibat gugup. Kini, ia bingung harus bertindak seperti apa. Otaknya seketika beku dan butuh siraman air panas agar meleleh dan bisa bekerja kembali dengan baik.

“Ayo, siap-siap. Kita sarapan di yach saja. Di sana ada dapurnya kok. Saya sudah minta penjaga yach ambil barang yang kita beli semalam,” ujar Bima yang mendorong pelan Khansa untuk bersiap-siap.

Bingung merasuki pikiran Khansa. Ia tak tahu harus apa. Kejadian pagi ini sungguh mengejutkannya. Dan hal tersebut membuat ia lambat berpikir. Jadinya, ia masuk kamar dan duduk di atas ranjang dengan kebingungan. Ia mencerna apa yang sedang terjadi. Kala sadar dirinya harus apa, ia langsung bangkit dan mengambil handuk. Ia membawanya keluar dan masuk ke kamar mandi. Namun, sebelum pintu itu tertutup rapat, ekor matanya sempat melirik Bima yang menunggu di ruang makan. Lantas ia kembali membukanya dan berkata, “Kapten tunggu di ruang tamu saja. Nanti saya malu, lho.” Dan setelahnya, ia melanjutkan niatnya.

Bima terkekeh melihat Khansa yang kebingungan jika dibangun secara mendadak. Ia baru tahu ternyata orang yang suka membangunkannya di pagi hati itu tidak bisa digedor atau dibangunkan secara tiba-tiba. Hal tersebut memberi sensasi geli sendiri untuk Bima. Sungguh, ia menikmati pagi yang lucu ini.

Rumah yang dikontrak Khansa terlihat lapang karena tak ada interior yang berarti. Bahkan, foto Khansa tak ada di sana. Namun, ada hak yang menarik perhatian pria tersebut. Ternyata gadis itu bukan hanya sembarang protes. Bima melihat di sudut sofa terdapat vakum robotik yang pernah dicaritahunya saat Khansa menyarankannya. Pantesan dia saranin ini, bisik Bima pada diri sendiri dan melihat sekeliling. Kayaknya bersih juga kerjaan, nih, robot. Harus dicoba ini, sambungnya yang tampak tertarik.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang