Bab 14

2 2 0
                                    

Bima : Hai, Sayang. Apa kabar? Jaga kesehatannya, ya. Aku mau bicara sama kamu. Kalau lagi nggak sibuk, tolong telepon atau chat aku, ya. I love you.

Entah sudah pesan ke berapa sejak Bina kembali dari mengantar Jasmine ke Banten. Ini sudah hampir seminggu, tapi Jasmine belum mengabarinya. Padahal, nomor gadis itu aktif. Bima menyadari ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Seperti ada rongga besar di antara mereka sejak ia mengatakan bahwa dirinya nakhoda. Rasanya sungguh tidak enak. Bima merasakan ada ambang hampa di hubungan tersebut. Namun, sampai saat ini pemuda itu terus menyuntik pemikiran positif. Ia menepis segala tuduhan yang mungkin terjadi pada Jasmine.

Anggi melihat gelagat anaknya yang cukup berbeda beberapa hari ini. Putra semata wayangnya itu lebih banyak diam. Biasanya ia pasti bertukar pikiran dengan papinya begitu kumpul bersama di depan televisi atau meja makan. Diamnya Bima membuat tanda tanya besar dalam benaknya.

Wanita berkepala empat itu masuk ke dapur. Ia mengambil daging dan bumbu untuk membuat pasta. Ia merebus mi dalam panci dan mengolah saos pasta berisi daging. Ini adalah makanan kesukaan Bima. Mana tahu, dengan memakan ini hati Bima sedikit terhibur. Atau jika ia beruntung, anaknya curhat perihal masalah yang sedang terjadi.

Butuh waktu 20 menit untuk pasta terhidang dengan rapi di piring. Dengan segelas es kosong dan sepiring pasta, Anggi menemui anaknya yang duduk di gazebo halaman belakang. Ia meletakkan makanan tersebut tepat di hadapan Bima. Pemuda yang tadinya sedang murung, langsung menatap binar ke arah piring. Ia mengecup pipi Anggi dengan berkata, “Terima kasih, Mami. Tahu saja Bima lagi lapar.”

Anggi tersenyum tipis. “Habisnya Mami lihat tadi kamu nggak habisin makan siang. Ya... mungkin kalau melahap pasta bisa ngebangkitin napsu makan kamu,” ujar Anggi yang tidak 100% mengungkapkan niatnya.

Tanpa menanggapi, pemuda tersebut langsung melahap perlahan pasta tersebut. Namun, pikirannya masih bertalu. Ia masih memikirkan perihal Jasmine. Sesekali ia melirik ponselnya yang tergeletak manja tanpa ada tanda-tanda pesan atau panggilan masuk.

“Wih, enak, tuh! Untuk Ririn ada nggak, Mi?” Terdengar suara sang adik dari ambang pintu dapur.

Anggi tak menyangka anak bungsunya pulang cepat. Ia tersenyum lebar dengan mimik meminta maaf. “Ya ampun, Nak. Mami pikir kamu nggak pulang sekarang. Bentar Mami buat lain,” ujar Anggi yang hendak bangkit, tapi ditahan oleh Bima.

“Nih, makan bareng. Mami buat lumayan banyak, nih!” ajak Bima yang disambung hangat adiknya.

“Bentar ambil jus jeruk,” jerit Ririn yang masuk ke dasar dapur.

Bima masih melahap beberapa sendok lagi. Pemuda yang amat penyayang itu selalu menomorsatukan mami dan adiknya. Keduanya dimanja dengan amat baik. Dan begitu Ririn tiba dengan segelas jus jeruk, gadis yang baru ulang tahun ke-18 tahun tersebut mengecup sayang pipi Bima sambil berkata, “Terima kasih, Mas.” Dan Bima menjawabnya hanya dengan senyum dan anggukan kecil.

Anggi menatap lekat ke arah Bima yang sepertinya mengetahui gelagatnya. Terjelaskan saat Bima bertanya, “Ada apa, Mi? Kok pandangin Bima gitu amat?”

Wanita itu tersenyum dan menggeleng. “Enggak. Cuma penasaran saja anak Mami kok di rumah mulu berapa hari ini. Terus, murung gitu. Kenapa?” Akhirnya Anggi bertanya hal yang ingin diketahuinya.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang