Bab 24

3 1 0
                                    

Suara alarm yang berbunyi nyaring di atas nakas membuat Bima terjaga dari tidur nyenyaknya. Usai mematikan benda tersebut, Bima bangkit dan melangkah ke kamar mandi yang berada di kamarnya. Ia bersiap-siap hendak berlayar. Dan perjalanan kali ini, sangatlah dirasa berat. Sama halnya seperti dulu ia meninggalkan Jasmine. Namun, rasanya mungkin lebih berat dari kala itu.

Usai berpakaian rapi, Bima mengambil baret nakhoda dan juga koper besar yang sudah disiapkannya dua hari lalu. Tanpa adanya rasa semangat, Bima menuruni tangga. Dapat dilihatnya Khansa sedang mengoles roti dengan selain cokelat di meja mini bar. Begitu melihat Bima, gadis itu tersenyum dan menyapa, “Selamat pagi, Kapten Bima.”

Boleh kah Bima berkhayal? Jika diizinkan, ia ingin mengkhayal bahwa kini mereka benar-benar satu rumah. Saat ini Khansa sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum bekerja. Kala ia turun dari kamarnya, ingin ia menghadiahkan morning kiss untuk kelangsungan rumah tangganya. Itulah khayalan yang amat diharapkannya. Namun, ia tak tahu kapan hati bisa bergerak mengatakan cinta. Semalam ia hanya berani mengucapkan saat gadis itu masuk ke alam mimpinya.

“Pagi, Ibu Dokter,” balas Bima yang meninggalkan koper di dekat tangga dan ia mendekati Khansa. Pria itu duduk di salah satu kursi di hadapan Khansa dan mengambil sepotong roti yang sudah dilumuri selai.

“Maaf saya cuma bisa buat ini, Kapten. Tadi saya pulang dulu teringat ada barang yang belum dibereskan,” terang Khansa yang seharusnya tidak perlu merasa bersalah.

“Ini lebih dari cukup,” sahut Bima yang tampak lahap. Ia kini sudah mengambil roti kedua.

Semalam Bima merencanakan satu hal. Kini ia pun mengulur satu kunci di depan Khansa sambil berkata, “Kalau kamu ke sini lagi, jangan sewa rumah atau hotel. Ke sini saja. Walaupun nggak ada saya, enggak apa ke sini. Anggap saja ini rumah kita.”

Mendengar kata ‘rumah kita' berhasil membuat jantung Khansa berdentum kencang. Andai ada ikatan, mungkin rasanya tidak seheboh ini. Gadis itu hanya bisa mengangguk. Dari mata itu, Bima bisa melihat ada kesedihan. Namun, ia tak mau ikut larut. Yang ada dirinya tidak bisa berlayar.

“Kamu bisa nyetir?” tanya Bima yang mengambil potongan roti ketiga. Gadis itu hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “Kita bawa mobil saya ke dermaga. Nanti kamu yang bawa pulang. Kalau kamu....” Bima bingung harus berkata apa perihal Khansa ke bandara.

Gadis itu tersenyum lebar. “Tidak apa. Saya pakai driver saja,” ujar Khansa bersungguh-sungguh.

“Maaf saya tidak bisa antar kamu ke bandara,” ucap Bima yang merasa bersalah.

“Nggak apa, Kap. Hari ini, saya yang antar Anda ke pelabuhan. Kapan-kapan Kapten yang antar saya ke bandara,” sahut Khansa yang mencoba menekan rasa sedihnya.

Gadis itu mengambil satu roti yang dibuatnya. Ia melahapnya dengan susah payah. Ia ingin menangis, tapi jelas tidak boleh dilakukannya. Lantas, ia berbalik dan masuk ke kamar mandi. Air mata menetes di sana. Tak menyangka perpisahan ini memberi kesan yang sakit. Jika diberi kesempatan atau permintaan, ia ingin tidak dipisahkan oleh Bima. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa pasrah dengan keadaan.

Terdengar pintu kamar mandi diketuk. “Sa. Saya harus sampai di sana sejam sebelum berangkat. Ayo, kita jalan sekarang,” ajak Bima dari balik pintu.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang