Semuanya tampak berbeda dalam seketika. Bima yang tadinya tersenyum walaupun hanya sedikit dan di ambang keraguan, kini tak lagi terlihat. Hatinya yang tadi dipenuhi oleh kehangatan, seketika beku bak lautan es di Antartika. Hanya dengan kabar burung yang bisa dikatakan akurat, hidup Bima hancur bagaikan kaca yang jatuh dari lantai sepuluh—berkeping berantakan. Entah bagaimana caranya ia mengumpulkannya lagi dan menyatukannya jadi kesatuan yang utuh.
Namun, Bima tetaplah tipe orang yang berpikir positif jika belum melihat faktanya. Ia memutuskan untuk ke kampus Jasmine. Dengan menggunakan mobil adiknya, ia berhenti di depan Fakultas Teknik. Menunggu sudah sejak hampir tiga jam yang lalu. Dan sampai sejauh itu, ia belum melihat tanda-tanda adanya Jasmine di sana.
Helaan napas terdengar dari bibir penuh Bima. Ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun, ia tak langsung pulang melainkan berkunjung ke tujuan selanjutnya. Hanya saja, niatnya diurungkan kala ia keluar dari gerbang universitas. Ia melihat seseorang yang tak asing masuk ke sebuah komplek yang tak jauh dari universitas. Ia mengikutinya secara perlahan, dan baru disadari komplek tersebut adalah milik kampus tersebut.
Bima menghentikan mobilnya tak jauh dari palang komplek. Dari kejauhan ini saja ia sudah bisa melihat siapa orang tersebut. Ia pun keluar dari mobilnya dan berjalan pelan. Saat keyakinannya semakin tepat, ia pun menyapa, “Jasmine.”
Tebakan Bima memang tak salah. Wanita tersebut melihat ke belakang dan wajahnya tampak terkejut serta pucat. Pun Bima memandang tak menyangka dengan sosok Jasmine sekarang. Tak perlu dijelaskan, ia sudah tahu bahwa Jasmine memang sudah menikah.
Air mata tampak menetes di pipi Jasmine. Dari gerak mulutny, Bima bisa membaca wanita itu mencicit namanya. Lantas, Bima langsung menanyakan hal yang menjadi tanda tanya besar di pikirannya, yakni, “Kenapa, Jasmine? Janjimu....”
“Sorry....”
Hanya itu yang bisa diucapkan wanita berbadan dua tersebut. Ia menutup mulutnya tak kuasa menahan isak. Berbalik badan dengan cepat, Jasmine menjauh dari palang pintu. Gerakannya yang tak terlalu cepat itu pun seketika hilang di persimpangan. Bima ingin mengejar dan meminta penjelasan lebih lanjut dari Jasmine. Namun, palang peringatan masuk harus ada izin dari penghuni komplek membuat pemuda itu mengurungkan niatnya. Ia harus minta izin pada siapa? Jelas jika ia menelepon Jasmine tidak diangkatnya. Pun kalau diangkat pasti izin tidak diacc.
Pemuda itu masuk kembali ke mobil. Ia menyandarkan tubuhnya dengan lelah dan kepala menengadah. Ia tak menyangka harinya seberat ini. Hatinya yang hangat sudah 100% membeku. Ia tak bisa mempercayai wanita dalam sekejap—kecuali adik dan maminya. Janji seorang kekasih pelaut tak pernah tepat. Terbukti banyak kasus dan cerita yang beredar—pun ia sudah merasakannya sendiri. Mulai saat ini, Bima memutuskan untuk sendiri saja. Menenggelamkan rasa cintanya dan mencoba melupakannya walaupun berat. Biarlah ia mencintai dalam diam. Bukannya cinta tak harus memiliki? Walaupun sakit, inilah yang harus dihadapi.
Teringat ia akan kekesalan Ririn saat kemarin menjemputnya. Ia yakin Ririn dan Anggi tahu masalah ini. Lantas, tujuannya saat ini adalah pulang. Pun mencari solusi untuk pergi jauh dari Jakarta. Ada banyak cerita di sana yang bisa membuatnya mengingat Jasmine. Tidak mungkin ia bunuh diri atau menguburkan diri secara hidup-hidung hanya karena takut dibayangi oleh kisah itu. Walaupun terlalu cinta dan patah, ia sadar bahwa ada jalan menuju Roma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Terlalu Dalam
RomanceKenakalan anak-anak bermain di dermaga membuat Khansa menemukan buku bersampul kulit sintetis berwarna biru laut. Ia jatuh cinta pada kisah di dalam sana. Membuat ia yakin bahwa Tuhan membawanya ke arah impiannya. Membantu Khansa ternyata menjadi pe...