Bab 6

5 1 0
                                    

Sejak bertemu dengan Jasmine, Bima mulai menulis semua hal tentang Jasmine di buku harian. Apa yang dirasakan dan dilalui dituangkannya semua ke sana. Bima ingin mengingat semua yang terjadi. Seakan kisah itu perlu dikenang dan Jasmine adalah miliknya selamanya.

Sudah lama ia memendam ingin naik gunung. Terakhir dirinya mendaki tahun 2005 sebelum berangkat ke Peru. Hasrat untuk menghirup udara tanah pun semakin besar. Namun, ia tak tahu harus mendaki dengan siapa. Bisa saja ia mengajak teman semasa sekolah menengah. Hanya saja, sahabat kecilnya itu kini sedang sibuk dengan magisternya. Jelas ia tak mau menganggu waktu orang lain.

Bima ingat bahwa tiga hari besok Jasmine tak punya jadwal kuliah. Maka ia langsung mengirim pesan melalui aplikasi BBM untuk mengajaknya mendaki. Awalnya Jasmine menolak karena takut tidak sanggup. Namun, setelah rayuan maut Bima keluar, akhirnya ia luluh juga. Dan di sinilah mereka sekarang, berdiri tegap di kaki gunung Salak. Bima mengenggam erat tangan Jasmine untuk memulai langkah pendakian pertama.

Sepanjang pendakian, Bima dan Jasmine saling berpegangan. Pemuda itu memilih gunung Salak karena menurutnya cocok untuk pemula seperti Jasmine, pun agar tidak terlalu jauh jaraknya dari Jakarta sehingga mereka bisa menjangkaunya hanya menggunakan mobil. Bukan hanya pegangan tangan, sesekali Bima membantu Jasmine jika kesusahan melewati terjangnya jalur. Saat melihat peluh membanjiri pelipis Jasmine, dengan lembutnya Bima mengelapnya dan sesekali diberi kecupan penyemangat.

“Masih jauh nggak, Mas?” tanya Jasmine yang ternyata sudah kelelahan. Setelah empat kali berhenti untuk minum dan makan beberapa kudapan yang dibawa, akhirnya Jasmine terlihat akan menyerah.

Bima tersenyum dan mengelus puncak kepala Jasmine. “Dikit lagi kita sampai,” ujar Bima yakin.

Jasmine hanya melenguh pelan. Ia terus mengekor Bima. Untungnya, mereka tak sendiri di sana. Jadinya, Jasmine tidak terlalu khawatir dengan datangnya suasana sepi atau mencengkam. Dan jikalau salah satu dari mereka kenapa-napa, jelas akan ada yang membantu.

Mereka tiba di puncak setelah lima jam mendaki. Helaan napas lega terdengar di bibir Jasmine kalau Bima mengatakan bahwa titik tujuan mereka telah tiba. Dengan sigap Bima langsung mengambil tenda dan mendirikannya untuk Jasmine. Sedangkan dirinya nanti akan tidur di kantung tidur di dekat perapian.

Tadinya Bima tidak ingin menginap. Namun, ia tetap membawa tenda dan kantung tidur untuk jaga-jaga. Saat melihat ada beberapa orang yang memasang tenda, maka ia mengambil keputusan untuk menetap semalam. Pun demi letih Jasmine pulih. Besok pagi, rencananya ia akan mengajak kekasihnya turun. Dan untung saja, Jasmine setuju. Gadis itu lumayan lelah karena inilah pertamakalinya ia mendaki.

Usai memasang tenda, Bima beralih menyiapkan air panas untuk menyeduh teh, kopi, dan mie instan. Jasmine hanya melihat saja. Ia tersenyum mendapat perlakuan istimewa dari pemuda itu. 17 tahun ia hidup di dunia ini, hanya Bima yang berhasil membuat ia terpukau dan jatuh cinta dengan sangat dalam.

Matahari terlihat hampir tenggelam di sebelah barat saat Bima menyerahkan secangkir teh hangat dan mie instan rebus. Mereka bergabung dengan pendaki yang menetap lainnya. Canda tawa pun tak bisa terelakkan. Seketika, Jasmine terlena dengan keramahan Bima. Pemuda itu dengan mudah berbaur walaupun baru kenal beberapa menit yang lalu. Dan saat matahari benar-benar tenggelam, mereka hanyut akan keindahannya. Tak lupa Bima mengabadikan keindahan lekuk tubuh Jasmine yang menutup sunset dengan kameranya. Nantinya, ia akan simpan foto itu sebagai kenangan bahwa mereka berdua pernah ke sana.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang