Bab 21

7 1 0
                                    

Berlayar sudah mendarah daging di diri Bima. Ia sudah hafal posisi-posisi dan keadaan laut. Begitu merasa cukup sejauh ini dari daratan Bali dan juga yakin bahwa terumbu karang di bawahnya indah, Bima langsung menurunkan jangkar. Ia siap menyelam bersama pujaan hatinya. Ia siap memberi kenangan indah untuk mereka berdua sebelum dipisahkan oleh jarak yang belum tentu mengizinkan untuk kembali bertemu. Semua harus dinikmati agar hati keduanya menetap sedikit lama sehingga tidak mudah terlupakan.

Bima keluar dari anjungan dan berjalan ke dek yacht nya. Matahari pagi ini cukup cerah walaupun tidak terlalu panas. Ia menurunkan tangga tali untuk mempermudah mereka naik dan turun yacht. Namun, Bima merasa ada yang kurang. Khansa meningggalkan anjungan hampir setengah jam yang lalu. Karena takut gadis itu kemungkinan mabuk laut, Bima langsung masuk dan mencari keberadaan Khansa.

Pria itu menghela napas lega saat melihat Khansa sedang duduk di mini bar dapur dan sedang menyantap nasi goreng yang entah kapan dibuatnya. Gadis itu menggeser satu piring yang teranggurkan sambil berkata, “Saya belum lapar. Lihat di sini ada kompor, nasi, dan alat masak lainnya, saya buat ini untuk isi perut. Ini untuk Kapten.”

Kekehan terdengar dari mulut Bima. Pria itu mendekat dan duduk di salah satu kursi yang juga anggur. Mengambil sebotol minum isotonik yang semalam mereka beli dan meneguknya hingga habis setengah. Lantas setelahnya ia menyantap hidangan sarapan yang sedikit telat dari Khansa. Keduanya menyantap nasi goreng kampung itu dengan diam.

Dikarenakan gadis itu duluan makan, maka ia pula yang duluan habis. Begitu menegakkan kepalanya, ia melihat Bima yang sedang makan sambil menatapnya. Setelah tadi ia yang ketangkap basah memandang Bima, kini pria itulah yang demikian. Hal tersebut berhasil membuat pipi Khansa merona merah akibat malu. Tak ingin salah tingkah menghampiri dirinya, Khansa langsung bertanya, “Ada apa lihat-lihat? Ada yang aneh?”

Bima menggeleng pelan. Tanpa ada kontrol dari otaknya, pria itu berkata, “Kamu cantik.” Dan seketika Bima tersadar telah berkata apa. Namun, ia mencoba menguasai diri dari gugup yang tiba-tiba datang.

“Hah?” Khansa pun seketika bak orang bingung. Menyadari kebodohan masing-masing, mereka tertawa lantas gadis itu berkata, “Ya... saya akui kalau saya memang cantik. Ayo, katanya mau nyelam. Ajarin saya berenang sekalian. Dulu kata Anda kalau belum bisa berenang, jangan dekati laut.” Dan tawa semakin menggema kala keduanya ingat pertemuan mereka.

“Kamu. Bukan Anda,” protes Bima yang kembali meneguk minuman isotoniknya.

Keduanya melangkah ke teras depan kapal. Bima langsung mengambil pelampung dan memberinya ke Khansa. Melihat gadis itu tidak kesulitan mengenakannya, ia langsung membuka baju dan sandal. Bima siap meloncat dan menyatu dengan segarnya air laut yang tampak bening dan tenang. Melihat perlakuan Bima, Khansa terpaku. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat laki-laki langsung membuka baju di hadapannya. Memang ia banyak melihat pria bertelanjang dada di pantai, tapi ia tak pernah menyaksikan langsung openingnya.

“Ayo, Khansa! Ngapain melamun gitu? Sini turun!” teriak Bima dari bawah yacht.

Khansa tersadar dari lamunannya. Ia langsung menyelesaikan mengancing pelampung, memasang kacamata nyelam di kepalanya, dan kini ia siap turun dari yacht.

“Loncat saja nggak apa. Nanti saya bantu kalau kamu kelelep,” ujar Bima yang siap menangkap jika terjadi apa-apa.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang