Semalam, Jasmine tak mengirim pesan ucapan selamat malam. Dan pagi ini pun demikian. Entah apa gerangan, tapi Bima tak ingin mengambil pusing. Jika Jasmine lupa atau tak sempat—apalagi mengingat gadis itu hendak balik ke Banten, mungkin banyak hal yang ia siapkan—maka dirinya lah yang akan memulai. Sayang, tak ada balasan dari Jasmine. Lagi, Bima tak ingin menaruh curiga lebih. Ia yakin Jasmine tak kenapa-napa.
Bima mengendarai mobilnya ke arah kos Jasmine tepat pukul delapan pagi. Dengan berbekal berkas untuk pengurusan surat kerja, Bima pun siap menjemput kekasihnya dan mengantarkannya ke Banten. Walaupun berat, hal ini tetap harus ia lakukan. Pun nantinya ia pasti akan meninggalkan Jasmine bertahun-tahun. Jadi, tak masalah jika gadis itu pulang ke Banten. Toh, ia ke sana akan bertemu dengan kedua orangtuanya. Bukan dengan orang lain.
Mobil Bima sudah terparkir rapi di depan pagar kosan. Ia menelepon Jasmine tak tak juga angkat sedari tadi. Akhirnya pemuda itu memutuskan untuk mengecek langsung ke dalam. Tepat di meja resepsionis, ia bertanya pada penjaga, “Mbak. Jasmine ada?”
“Aku di sini!”
Jawaban tersebut bukanlah dari mbak penjaga melainkan dari si empunya nama. Bima tersenyum dan bernapas lega saat melihat Jasmine yang sedang kesusahan menuruni koper dari anak tangga. Ia pun mendekat dan membantu. Tanpa menunggu, ia memasukkannya ke bagasi.
Hampir 10 menit lamanya ia tak melihat Jasmine yang ternyata kembali masuk. Bima duduk di kursi yang ada pada halaman kos. Sesekali ia melirik ponselnya yang tampak membosankan. Dan untungnya, Jasmine keluar di menit ke-12. Ia langsung masuk mobil tanpa menunggu Bima.
“Siap berangkat?” tanya Bima begitu ia menyusul masuk.
Jasmine mengangguk kecil. Ia pun seperti bersiap untuk tidur. “Ya!” serunya begitu singkat.
Bima menjalankan mobilnya. Ia melirik sejenak Jasmine yang tampak berubah. Apa karena penjelasanku semalam, ya? Bima pun jelas akan bertanya-tanya melihat perubahan Jasmine. Lantas, tak ingin terlalu penasaran, ia bertanya, “Kamu kenapa?” Dan tangannya terangkat mengelus puncak kepala kekasihnya dengan penuh sayang.
Jasmine sedikit mengelak. Namun, ia seperti ingat sesuatu. Untuk menjawab pertanyaan tadi, dirinya hanya menggeleng saja.
“Sakit?” Bima masih tidak puas dan kembali melayangkan pertanyaan. Masih sama seperti tadi, Jasmine menggeleng sebagai jawaban.
Merasa ada yang tidak beres, Bima meminggirkan mobilnya. Ia melihat ke arah Jasmine yang tak mau menghadapnya. Akhirnya, Bima hanya menyentuh puncak kepalanya lagi dengan lembut lantas berkata, “Hei, kenapa? Apa aku ada salah? Kalau ada, aku minta maaf. Tolong jelaskan apa salahku.”
Gadis itu hanya menarik napas berat. Ia tampak bingung harus menjelaskan apa. Toh, semalam ia juga sudah mendengar penjelasannya. Jadi, saat ini ia memilih diam saja.
“Sayang. Jangan diam gini, dong. Kita ‘kan mau pisah selama tiga minggu. Masa iya mau ngambek-ngambekan,” bujuk Bima yang meraih tangan kekasihnya lantas mengecupnya dalam.
Tangan itu ditarik dengan cepat. Jangan ditanya bagaimana terkejutnya Bima. Hal itu membuat ia semakin merapat dan melihat wajah kekasihnya. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh Bima melihat Jasmine seperti itu. Ia menuntun pelan dagu Jasmine agar wajah itu melihat ke arahnya. Tak ada jarak di antara mereka. Hal itu berhasil membuat Jasmine gugup dan tak tahu harus seperti apa. Ternyata, aksi ngambekannya sangatlah salah. Ia bisa melihat wajah Bima yang merah—entahkah kenapa—dan matanya yang tajam menatap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Terlalu Dalam
RomanceKenakalan anak-anak bermain di dermaga membuat Khansa menemukan buku bersampul kulit sintetis berwarna biru laut. Ia jatuh cinta pada kisah di dalam sana. Membuat ia yakin bahwa Tuhan membawanya ke arah impiannya. Membantu Khansa ternyata menjadi pe...