18

290 40 35
                                    

Haiiii, maaf ya dah lama ga update. Sebenernya chapter ini dah lama kesimpen di draft. Tapi aku biasa nabung chapter dulu biar nanti ga keteteran. Karena aku sibuk, jadi ga nabung2 wkwkwkwk. Aku update dulu nih satu chapter yang masih nyisa di draft. Jadi aku gapunya tabungan chapter lagi deh huhu.

Sebelumnya aku kasih warning dulu buat chapter ini: DIHARAP BIJAK YAA YOROBUN, buat dedek2 yang di bawah umur kalian bisa skip bagian mature-nya. Nanti di scene pertama kan ada tanda "••" nah kalian skip dah tuh sampe nemu tanda "••" lagiii. Kalo ada yang masih maksa buat baca itu bukan tanggung jawab penulis lagi yaa. Okay persiapkan holy water🌊🌊🌊 happy reading!













Dari sekian banyak hal yang kubenci di dunia ini, tangisan Seokjin adalah salah satunya. Aku tidak suka saat melihatnya menangis. Suaranya paraunya terdengar menyayat sekali, terlalu menyakitkan. Namun aku tidak bisa melakukan apa pun selain diam dan menunggunya berhenti menangis sambil memainkan Super Mario Bros dengan perasaan sedih. Sepertinya kami sama-sama mengalami hal buruk hari ini.

"Kau mengalami kesulitan?"

Aku memberanikan diri untuk bertanya sambil meraih sekotak tisu di dekat komputer, lalu mengambil beberapa lembar dan memberikan tisu itu padanya. Pundakku rasanya pegal karena Seokjin masih bersandar di sana dan meluapkan tangisnya.

Seokjin mengangguk dalam diam seraya menerima tisu pemberianku lalu sibuk mengelap air mata di wajahnya. "Sulit sekali. Sampai rasanya mau gila."

"Jangan bilang begitu." aku menghela napas lantas kembali bicara tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. "Kau boleh merasa sedih saat merasa kesulitan. Tapi setelahnya kau harus kembali bangkit dan bersemangat. Bukankah kau selalu seperti itu?"

"Kali ini berbeda. Astaga, aku malu sekali."

"It's okay." aku menoleh ke arahnya, menatap puncak kepalanya yang masih bersandar di bahuku. Tanpa sadar aku meletakkan pipiku di sana lalu memejamkan mata. Kubiarkan komputer begitu saja hingga permainan berakhir dengan game over. "Aku tahu kau tidak suka membuka kesedihanmu pada orang lain. Tapi sesekali kau perlu melakukannya. Tidak apa jika kau terlihat rapuh di waktu tertentu. Kau boleh mengeluarkan semuanya agar batasanmu tetap terjaga."

"Apa aku bisa percaya padamu?"

"Yah, aku bahkan pernah menangis dan mengamuk seperti orang gila di depanmu. Aku sudah percaya padamu. Bukankah kita teman?"

"Kau benar." Seokjin terkekeh. Ia masih berusaha untuk menyembunyikan wajahnya dariku. "Rasanya sudah lama aku tidak merasakan ini. Aku selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Jadwal BTS yang semakin padat membuat kami jarang melakukan deep talk. Bahkan sekarang—"

Roommate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang