2| First Night

2.3K 349 28
                                    

Masih kuingat jelas hujan deras disertai petir dan angin di hari itu. Dan yang bisa kulakukan hanya diam di atas kasur, sambil memeluk kedua kaki. Air mataku telah mengering, dan saat itu aku tak paham lagi perasaan apa yang sebenarnya tengah kurasakan.

Satu jam sebelumnya, Gun meneleponku sambil menangis dan terdengar kebingungan di seberang sambungan. Aku bisa mendengar bising orang-orang di sekitarnya, dan dengan cepat aku dapat menebak bahwa lelaki itu pasti tengah berada di rumah sakit atau semacamnya.

"Hito kecelakaan, Sil. Parah banget. Aku enggak tau lagi harus gimana ini. Dia enggak sadar."

Memang air mataku terus meluncur turun membasahi wajah, tetapi tak ada  satu kata pun yang berhasil keluar dari mulutku setelah mendengar kabar dari Gun itu. Aku terlalu takut, bahkan untuk sekadar menerka apa yang sebenarnya tengah menimpa sahabatku itu.

Bagaimana bisa Hito kecelakaan? Padahal satu setengah jam sebelumnya, dia mengirim pesan padaku, mengatakan akan kembali ke Malang dari acara pemotretan di Batu, dan memintaku untuk segera makan malam.

Aku benar-benar tak paham bagaimana cara takdir Tuhan bekerja. Kenapa harus Hito dari sekian banyak orang di sisiku? Padahal dia adalah sumber semangatku, yang membuatku masih merasa pantas untuk hidup, karena dia yang begitu nyata menerima eksistensiku ini.

Hito yang membuatku berani berharap--meski aku tahu bahwa mungkin saja harapan itu tak akan terwujud dengan mudahnya--tentang sebuah keluarga kecil yang damai; berisi aku, dia, dan anak kami.

Setidaknya, aku yang sejak kecil tak ada minat sama sekali untuk memikirkan masa depan--dengan keberanian Hito yang tegas menolak uang dari Papi demi bisa tetap memperjuangkan niatnya menikahiku--kembali mau memikirkan tentang bagaimana merencanakan kebahagiaan bertiga bersamanya dan anak kami.

Karena Hito yang meski tak memiliki satu keluarga pun di dunia ini, atau hartanya yang bisa dikatakan tak ada satu ujung kuku dari milik Papi, begitu berani mengatakan bahwa dia bisa membuatku dan anak kami bahagia di masa depan kelak, dalam keluarga yang hangat dan penuh cinta … maka aku berani mendongakkan kepala pada Papi. Menunjukkan bahwa diriku bisa berdiri tegak tanpa membutuhkan support apa pun darinya lagi.

Kuhela napas dalam-dalam sambil menatap cincin emas yang kini dengan pongahnya melingkar di jari manis tangan kananku. Nyatanya bukan Hito yang mewujudkan keinginanku segera pergi dari keluarga sialan yang dinahkodai Papi ini. Nyatanya bukan rumah tangga yang meski tak ada rasa cinta ke arah romantis di dalamnya, tetapi ada perasaan saling berbagi, membutuhkan, dan memahami, yang kudapatkan. Akan tetapi, ah entahlah… aku tak berani membangun harapan apa pun pada rumah tanggaku dan Ilham.

Lihat saja apa yang tengah dia lakukan sekarang. Sibuk berkutat dengan laptopnya sejak sore tadi hingga pukul setengah sebelas malam. Apa sebegitu jijiknya dia padaku, hingga tak sudi mendatangi istri yang baru dia nikahi pagi tadi ini? Apa sebegitu kotor dan hinanya aku baginya, karena sudah tak perawan dan pernah hamil dengan lelaki lain sebelum sah menjadi istrinya?

Kalau memang dia berpikir begitu, lalu kenapa dia harus repot-repot mengatakan dengan tegas ke Papi kalau tak menganggap pernikahan ini adalah sebuah kontrak dan berniat menjadikannya sebagai sebuah ibadah pada Tuhan yang sesungguhnya? Sampai sini aku makin tak paham, sebenarnya yang sedang bercanda padaku itu takdir Tuhan atau si Ilham keparat itu?

Sambil menghentakkan kaki, akhirnya aku bangkit dari duduk dan mengayunkan kaki menuju tempat Ilham berada. Dia masih di atas sofa ruang keluarga, dan saat ini kami berada di rumahku, tepatnya rumah yang berhasil kudapatkan setelah memeras Papi dan Mami sebelum mereka resmi bercerai sepuluh tahun lalu. Aku tak sudi berlama-lama di hotel atau berada satu rumah dengan Papi dan istri muda sialannya. Itulah mengapa, dengan memaksa sedikit mengancam, akhirnya aku berhasil membuat Ilham mau mengikuti kemauanku untuk langsung pulang ke rumah ini begitu acara pernikahan kami yang kata Papi sederhana tadi selesai.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang