6| Disappoint

1.6K 266 33
                                    

"Tumben bangun pagi? Enggak sekalian sholat Subuh?" tanya Ilham dengan kening mengerut, sambil melipat sajadah.

Setelah mengucek mata dan menguap, kulempar tatapan kesal ke arahnya. "Enggak sholat diomelin, mau sholat disindirin," gerutuku.

"Hah? Yang nyindir kamu itu siapa, Sil?" Ilham meletakkan sajadahnya di keranjang yang berisi tumpukan baju, lalu berjalan ke arahku dengan raut wajah bingung.

"Enggak nyadar ya kalau mulutmu tadi baru aja nyarkas tentang aku yang tumben bangun pagi?" sungutku.

"Bentar, deh." Ilham kembali mengerutkan keningnya. "Aku itu tanya, enggak nyarkas, Sila."

"Tapi, nada kamu--"

"Udah, udah." Ilham mengangkat tangannya, membuatku segera mendengkus kesal. "Males banget pagi-pagi berantem. Jadi, gimana? Mau sholat?"

"Iya," jawabku ketus.

"Tau gitu kan bareng sama aku, berjamaah." Lalu, Ilham menghela napas. "Enggak ada masjid atau musala di sekitar sini. Kalau bisa berjamaah sama kamu kan pahalanya lebih banyak, mana kita juga suami dan istri."

"Emang ngaruh ya kalau status pernikahannya cuma di kertas aja, sama kenaikan pahala?" tanyaku asal, setengah bercanda sebenarnya.

Namun, aku tak menyangka kalau Ilham mungkin saja tersinggung dengan pertanyaanku itu. Karena tiba-tiba saja wajahnya berubah kesal. Dengan ketus dia menjawab, "Aku enggak pernah menganggap pernikahan kita cuma sekedar kontrak di atas kertas, Sila."

Akan tetapi, aku pun tak ada niat mengalah. Dengan lebih ketus aku membalas. "Kalau emang kamu niat serius sama pernikahan ini, kenapa enggak kamu kasih aku nafkah batin sama sekali? Tidur bareng enggak, bahkan kamu genggam tanganku, meluk aku, cium aku juga enggak. Apalagi ngajak aku jalan-jalan, kasih hadiah, bla bla. Bullshit!"

Keheningan melingkupi kami berdua setelah aku mengeluarkan cercaan itu pada Ilham. Sebenarnya ada sedikit rasa bersalah yang menyelimuti hatiku, tatkala menatap wajah Ilham yang terkejut itu. Apalagi teringat tentang bagaimana kondisinya semalam, saat aku menemukannya tertidur di sofa dengan wajah kelelahan.

Kupikir Ilham akan mengeluarkan serangan balik padaku seperti biasanya. Mulutnya yang tajam itu seolah memiliki banyak stok kata-kata sarkas yang siap membuat mood-ku berantakan dalam sekejap. Namun, nyatanya tidak. Yang Ilham lakukan selanjutnya justru di luar dugaanku.

"Kamu pengen jalan-jalan? Pengen hadiah? Bilang sama aku, Sila. Aku akan kasih itu buat kamu." Dia lalu menatapku dengan lembut, dan entah mengapa perlakuan Ilham itu tiba-tiba saja membuat jantungku berdegup kencang. Aku tak paham kenapa bisa seperti ini. Bahkan dulu, saat Hito menatapku dengan lembut seperti itu saja jantungku tak bereaksi apa pun. Berdegupnya ya wajar-wajar saja.

Aku tak menjawab pertanyaan Ilham dan mengalihkan tatapan mata darinya. Kudengar helaan napas Ilham sebelum dia kembali bersuara. "Dan masalah tidur bareng, kamu kan yang minta enggak mau diganggu dulu. Aku cuma pengen kamu nyaman aja, Sil. Nunggu sampai kamu sendiri yang bilang udah mau tidur lagi sekasur sama aku. Tapi, karena kamu belum bilang ya aku diam aja."

Aku terkejut saat Ilham menarik tanganku dan menggenggamnya. Oh Tuhan, kumohon semoga dia tak mendengar detak jantungku yang makin lama makin kencang ini! Dan apakah wajahku telah memerah sekarang? Karena entah bagaimana aku merasa tiba-tiba saja wajahku terasa panas.

"Bilang sama aku, kamu mau jalan-jalan ke mana? Minta hadiah apa?"

Aku tak langsung menjawab, karena sejujurnya aku bingung saat Ilham yang biasanya bersikap cuek dan agak dingin, mendadak bertingkah sebagai suami sungguhan. Kugigit bibir bawahku, sampai akhirnya aku menjawab juga, "Di dekat sini aja, karena aku bosen di rumah terus. Dan hadiah, aku enggak butuh barang. Aku cuma kesepian karena tidur sendirian selama di sini. Jadi, please! Kamu tidur di kamar ya."

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang