12| Betrayal

1.3K 224 31
                                    

Saat membuka mata, yang kurasakan adalah rasa sakit di sekujur tubuh, dan paling terasa sekali di kaki kananku. Mataku rasanya berat dan dada sesak sekali. Tenggorokan yang kering membuatku langsung terbatuk-batuk, dan tiba-tiba saja Ilham datang dari samping tempatku berbaring sambil bertanya dengan ekspresi cemas, "Udah bangun, Sil? Mau minum?"

Seperti ada gerimis yang turun dalam hatiku. Jantungku berdebar kencang karena rasa lega bahwa aku masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan, dan juga rasa rindu pada suamiku yang begitu membuncah. Aku ingin memeluknya, sungguh … aku merindukan Ilham.

Namun, sekuat tenaga kutenangkan diri, kutahan keinginan itu, dan memaksakan diri mengangguk meski masih lemah. Ilham langsung tanggap, membantuku bangun untuk duduk dan menaikkan bagian atas bed pasien agar aku bisa bersandar. Dia lalu mengambilkan air minum dalam kemasan botol padaku. Kuminum perlahan air dari dalam botol itu melalui sedotan, sambil melirik Ilham yang masih menatapku dengan cemas.

Apa dia sangat khawatir dengan kondisiku? Jika memang kenyataannya begitu, berarti dia tak akan meninggalkanku, kan? Berarti masih ada harapan untukku bisa terus bersamanya, dan kami tak akan berpisah, kan? Hanya dengan memikirkan begitu saja, membuat rasa sesak dalam dadaku tiba-tiba menjadi sedikit berkurang. Oh Tuhan, kumohon semoga Ilham benar-benar iba karena kondisiku. Dan dari rasa ibanya itu, semoga dia melupakan pertengkaran hebat kami di malam itu.

"Sil," panggil Ilham sembari kembali duduk di kursi yang ada di samping kasurku. Dia menatapku dengan ekspresi serius, menggantikan tatapan cemasnya tadi. "Kaki kamu tulangnya retak di pergelangan sebelah kanan, dan kata dokter kena ke sarafnya.  Untung enggak sampai patah, udah dilakukan pemasangan gips juga pas kamu masih enggak sadar tadi."

Jantungku seperti berhenti berdetak. Mulutku terbuka hendak menyahut, tetapi tak ada satu kata pun yang bisa kukeluarkan. Justru malah air mata yang kemudian perlahan jatuh ke pipiku. Apalagi saat menatap kaki kananku yang sudah berbalut gips. Rasa nyeri di kakiku itu tak ada apa-apanya dibandingkan sakit dalam dadaku saat ini.

Ilham mengambil tisu di meja samping kasur dan menyerahkan padaku. Sambil mengusap wajah dengan tisu, kudengar suara Ilham lagi. "Tapi, enggak pa-pa. Kamu enggak perlu takut. Dokter menyarankan terapi seminggu sekali di dokter orthopedinya. Dilanjut ke fisioterapi setelah gipsnya dilepas, buat terapi saraf kamu. Insya Allah tiga bulanan bisa sembuh."

Ilham menunduk sesaat, sebelum kembali menatapku. "Dereck Hall cedera di kepala, dan harus dijahit karena agak dalam lukanya. Pingsan waktu di mobil karena sepertinya dia syok. Soalnya airbag di bagian pengemudi enggak terlalu bagus, seperti di kursi penumpang yang kamu tempati. Dia sempat mendapat penangan di sini tadi, sebelum akhirnya dari pihak perusahaannya meminta dia dirujuk ke rumah sakit rekanan mereka."

"Dereck masih hidup?" tanyaku antusias. Ada kelegaan besar yang menjalar dalam diriku, menghapuskan bayangan mengerikan sosok Dereck yang kepalanya terkubur di setir dengan darah di rambut pirangnya. "Alhamdulillah," bisikku.

"Aku menjenguknya sebelum dia pulang tadi. Dan dia minta maaf."

Perkataan Ilham membuatku kembali menatapnya, tentu saja dengan kening mengerut. Ilham menghela napas, terdengar seperti orang yang lelah dan juga--mungkin--sangat kesal. Dia lalu menatapku lekat-lekat. "Sudah berapa lama kamu pacaran sama dia?"

"What?"

Tentu saja aku tak terima dengan pertanyaan Ilham itu. Dia pikir aku perempuan murahan yang meski sudah berstatus sebagai seorang istri tetap bisa berhubungan dengan lelaki lain? Hampir saja aku membentaknya, tetapi mulutku seperti dibungkam rapat saat teringat bahwa sebenarnya yang kulakukan dengan Dereck di belakang Ilham selama ini adalah hal yang keliru.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang