15| Quality Time

1.2K 232 30
                                    

"Ini punya siapa, Sil?"

Aku lekas mendongak dan menemukan Ilham tengah mengacungkan pasmina fanta milikku dari arah ruang laundry. Oh, apa dia hendak mencuci baju kami?

"Punyaku. Kamu mau nyuci? Enggak biar aku aja yang nyuci, Ham?" tanyaku sambil berjalan mendekat ke arahnya.

"Punyamu?" Keningnya mengerut, lalu menunduk menatap pasmina di tangannya, sebelum kembali menatapku. "Kamu beli di mana?"

Kuambil pasmina di tangan Ilham dan menjawab, "Dikasih Bu Atikah. Dia dikasih keponakannya yang bisnis pasmina di Solo itu, nah aku kebagian ini." Kemudian aku mendongak ke Ilham. "Cocok enggak sama aku?"

Yang kuharap adalah ekspresi antusias atau minimal senyum manis Ilham saat aku bertanya demikian. Namun, yang kudapatkan justru ekspresi tak terbaca suamiku itu, yang tiba-tiba saja membuat hatiku terasa sedih. Selama beberapa saat kami terdiam, sampai akhirnya aku menghela napas pelan dan berkata, "Emang enggak cocok, sih. Masa iya seorang Sila pakai jilbab--"

"Aku udah mikir kamu beli kerudung sendiri, dan aku merasa zalim banget, Sil."

Perkataan Ilham membuat kedua mataku melebar. "Maksudmu apa, Ham?" Tentu saja aku tak paham. Dia ini bicara apa, sih?

Ilham menggeleng, lalu tersenyum dan menepuk lembut lenganku. "Tapi, cocok kok warnanya sama kulitmu yang putih. Udah coba dipakai?" tanyanya.

Mendadak jantungku berdegup kencang, apalagi saat menemukan ketulusan di ekspresi wajah Ilham. Ya Allah, kenapa menjelang perceraian yang diinginkan olehnya, justru Ilham makin hari terlihat makin tampan di depan mataku? Rasanya hatiku makin hari makin sakit dengan kenyataan itu.

Aku mengangguk pelan, dengan agak kikuk. "Kata Bu Atikah bagus, pas juga," jawabku, sambil memeluk erat pasmina ini.

"Aku belum lihat. Boleh aku lihat?"

"Hah?" Kutatap Ilham dengan terkejut. Sementara dia terlihat santai-santai saja. Seolah perkataannya itu hal wajar, padahal sudah membuat jantungku berdetak makin kencang seolah seperti akan lepas dari tubuh ini.

"Mau lihat, Sil. Gimana kamu kalau pakai kerudung itu."

"Tapi, buat apa, Ham? Maksudku, ngapain kamu pengen lihat?"

Ilham mengerutkan keningnya. "Apa enggak boleh aku ngelihat istriku sendiri pakai jilbab baru?"

Eh, ya memang tidak salah, sih. Akan tetapi, apa tadi kata Ilham? Istrinya? Aku maksudnya? Astaga, kenapa jantung ini makin tak terkendali hanya karena aku mendengar Ilham menyebutku istrinya? Kan memang benar aku masih sah sebagai istrinya, meski sebentar lagi dia akan menjatuhkan talak padaku.

"Uhm, boleh, sih." Kugaruk pipiku yang tak gatal. Lalu, dengan kikuk aku bertanya, "Sekarang?"

"Masa iya tahun baru nanti? Kelamaan nunggu dua bulan lagi." Ilham tersenyum geli, dan itu membuatku mengikuti apa yang dilakukannya.

"Tapi, aku malu, Ham."

"Malu kenapa? Malu sama aku?" Ilham mendekat, membuat jarak kami menjadi cukup dekat sekarang. "Tumben banget malu sama aku." Dia kembali tersenyum geli. "Atau mau kubantu makainya?"

"Dih, emang kamu bisa? Kan enggak pernah pake jilbab." gerutuku. "Lagian ini juga pasmina instan, jadi bisa kupakai sendiri, kok. Udah diajarin Bu Atikah juga."

Kemudian, dengan cepat aku melilitkan pasmina ini di kepalaku. Rasanya tak sesulit saat pertama diajari Bu Atikah waktu di rumah sakit dua hari lalu. Dan entah kenapa, mungkin karena kainnya yang adem dan lembut, atau bisa jadi karena aku sudah membuka hati untuk bersiap belajar menutup aurat, maka yang kurasakan saat memakai pasmina ini adalah kenyamanan.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang