14| New Friend

1.1K 234 29
                                    

Tiga minggu berlalu setelah aku berkenalan dengan Bu Atikah. Meski fakta tentang aku yang hamil kurahasiakan dari Ilham, tetapi entah kenapa aku justru antusias menceritakan tentang perkenalanku dengan Bu Atikah padanya. Ilham--meski tak memperlihatkan dengan jelas--tetapi aku bisa merasakan tentang dia yang sepertinya lega bahwa akhirnya aku menemukan teman yang baik.

Meski kenal dengan Nenek Nanae yang tinggal di unit sebelah, aku tak banyak mengobrol dengannya. Kami hanya sesekali bertemu saat aku akan berangkat ke rumah sakit dan dia akan menikmati pagi di taman depan mansion kami. Tak lebih. Karena setelah sekali mengunjungi unitnya bersama Ilham waktu itu, aku belum bertandang ke sana lagi.

Kondisi kakiku sendiri makin baik. Aku mulai bisa berjalan agak cepat dan dapat melakukan beberapa pekerjaan rumah tanpa harus bergantung pada Ilham lagi. Ya, beberapa pekerjaan ringan seperti mencuci baju di mesin cuci dan menjemurnya, memasak makanan sederhana seperti menggoreng atau merebus telur, serta menyapu.

Kesibukan Ilham makin menggila, apalagi sebentar lagi dia akan menjalani masa tengah semester, sebelum masuk musim dingin. Selain banyak tugas individu maupun kelompok, ada beberapa ujian yang kadang membuatnya harus begadang semalaman penuh untuk belajar.

Baru dua hari lalu dia pindah tidur ke kamar lagi, setelah selama beberapa minggu memilih tidur di sofa ruang tamu. Itu juga dia lakukan saat aku sudah terlelap, dan akan bangun sebelum aku membuka mata keesokan harinya. Saat tengah malam di dua hari itu aku terbangun, dan menyadari Ilham tidur di sebelahku. Aku memilih kembali tidur dan pura-pura tak tahu keberadaannya tersebut.

Aku tak masalah, hm ... lebih tepatnya, sih, tak mau mempermasalahkan apa pun lagi. Biar sesuka dan senyaman Ilham saja mau melakukan apa, karena sudah banyak hal buruk yang kulakukan padanya selama ini. Padahal dia sudah begitu baik dan berusaha sesabar itu menjalani pernikahan kami yang kosong ini.

Benar, aku tak mau lagi melakukan protes pada Ilham. Aku tak mau dia meninggalkanku nanti dalam keadaan kami bersitegang, sehingga akhirnya kenangan yang kami goreskan sebelum bercerai adalah kenangan yang buruk. Kalaupun Ilham akan menceraikanku nantinya, aku mau diceraikan dalam keadaan membawa banyak kenangan manis dengannya.

Kuelus lembut perutku yang masih datar sambil tersenyum. "Tiba-tiba aja Mama kangen sama papa kamu, Nak. Kalau udah lahir nanti, kamu bakal mirip Mama atau Papa, ya?"

"Assalamualaikum, Mbak Sila."

Suara yang sangat familiar menyapaku. Meski membuatku agak terkejut, tetapi setelah mendongak dan menemukan wajah tersenyum Bu Atikah, rasanya ada kehangatan dan kelegaan yang tiba-tiba saja menjalar ke dalam dadaku.

Namun, kehangatan itu lekas memudar saat aku menyadari bahwa wajah Bu Atikah terlihat lebih pucat daripada biasanya. Dengan cepat aku dikuasai perasaan cemas, sehingga tanpa sadar langsung membuka mulut, tetapi tak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.

Bu Atikah mengerutkan keningnya, dan bertanya bingung, "Ada apa, Mbak Sila?"

Setelah diam selama beberapa saat, akhirnya aku tersadar. Dengan sedikit tergagap aku menjawab, "Wa-wa'alaikumussalam, Bu. Anu." Aku menggaruk pipiku sendiri yang sebenarnya tak gatal sama sekali. Kucoba tersenyum, meski entah kenapa rasanya aneh sekali. "Itu ... saya kaget aja tiba-tiba Bu Atikah muncul."

"Astaghfirullah! Maaf, maaf, Mbak." Bu Atikah terlihat merasa bersalah.

Ekspresi wajahnya itu membuatku spontan tersenyum. Melihatnya yang walau pucat tetapi masih sama cerianya seperti biasa, membuat hatiku menjadi lega. "Silakan duduk, Bu. Udah mengabari suaminya?"

Lalu, Bu Atikah menggeleng sambil duduk di sebelahku. "Tapi, tadi sebelum kontrol sudah bilang padanya kalau mau berbincang dulu dengan Mbak Sila." Dia lalu tersenyum lembut. "Kabar Mbak Sila bagaimana? Si kecil juga sehat, kan?" Lalu, dia melirik perutku.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang