5| Husband

1.7K 283 29
                                    

Setelah kembali membalik badan dari posisi miring kanan ke telentang, akhirnya aku benar-benar sukses tak bisa tidur. Sialan memang. Sudah seminggu, dan kehidupanku di sini sangat monoton. Mirip seperti anak anjing yang dikurung dalam kandang, diberi makan dan minum, lalu dimandikan dan disisiri bulunya.

Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka keluar rumah juga, sih. Bahkan, aku bisa dikategorikan sebagai manusia yang kurang suka bertemu orang lain, apalagi kenalan baru. Karakterku yang malas mengajak bicara terlebih dahulu dan lebih senang sendirian daripada mengobrol dengan orang lain, membuat banyak orang mengira aku sombong. Termasuk begitu juga kesan pertama Hito padaku dulu.

Andai saja aku tak dalam kondisi sempoyongan dan hampir jatuh setelah meminum beberapa gelas martini berisi cosmopolitan, mungkin saja Hito tak akan menghampiriku. Yah, meski memang aku akan menghabiskan waktu sebulan sekali atau dua kali untuk pergi ke diskotek, tetapi aku lebih senang duduk menyendiri dan menikmati minuman beralkohol, daripada turun ke dance floor.

Jadi, bagaimana aku bisa merasa kesepian seperti ini? Padahal saat di Indonesia, aku selalu menikmati waktu-waktu berkualitas saat sendirian di dalam rumah. Menonton drakor atau dorama Jepang dan bahkan tak jarang juga anime, atau membaca novel atau manhwa online. Itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku tak perlu bersosialisasi, berbasa-basi menampilkan sosok seorang anak dari Aris Efendi yang adalah salah satu tokoh politik cukup berwibawa di Malang bahkan Jawa Timur. Dan juga, aku tak perlu capek-capek menghabiskan tenaga berusaha mengikuti obrolan orang lain. Kesendirian di rumah, atau berduaan dengan Hito di studionya, dulu adalah dua zona nyaman untukku.

Apa mungkin karena sekarang aku tinggal satu atap dengan lelaki batu itu? Yang tiap hari kerjanya hanya berkutat dengan laptop, ponsel, buku-buku, jurnal-jurnal, dan jika tidak sibuk bekerja, dia menenggelamkan diri dengan membaca Alquran sampai berlembar-lembar.

Mungkin bagi sebagian perempuan normal di luar sana, memiliki suami seperti Ilham adalah suatu anugerah. Dia tampan, memiliki ilmu agama yang lumayan, taat beribadah, tidak pernah berpacaran, giat bekerja, dan juga sangat menjaga kebersihan dirinya serta rumah yang ditempati.

Namun, tidak denganku. Makin lama aku makin muak dengan sifat dan perilaku suamiku itu. Kami hampir dua bulan menikah dan dia hanya satu kali menyentuhku. Itu juga dia lakukan dengan sangat terpaksa, dan saat kami melakukannya malam itu, bukan rasa nyaman dan kehangatan yang kudapatkan, tetapi rasa kering yang menyakitkan. Karena Ilham jelas sekali menunjukkan bahwa dia melakukan itu sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan karena dia butuh atau menginginkanku.

Kututup mataku dengan lengan. Bayangan di malam itu pun hadir berputar kembali di benakku. Saat aku bertanya padanya, "Apa kamu yakin akan melakukan ini?" Dia sempat terdiam selama beberapa saat, kemudian menjawab dengan nada dingin, "Lebih baik segera kita selesaikan saja dan enggak usah banyak bicara."

Sebenarnya saat itu aku ingin sekali melepas pelukan Ilham dan menghentikan apa yang akan kami lakukan. Namun, entah kenapa keinginan itu kalah oleh hasrat gila yang sudah menyerang diriku. Apalagi rasa penasaranku memuncak. Ilham yang belum berpengalaman, apakah dia bisa memberikan nafkah batin sesuai ekspektasiku? Meski kemudian aku menyesal sampai sekarang, karena dia tak melakukannya tulus dari hati nurani.

Kuangkat lengan dari wajahku, lalu segera duduk dan menatap ke jendela yang gordennya memang sengaja belum kututup. Langit malam Sakae yang gelap tetapi indah diterangi kerlap-kerlip cahaya lampu. Nagoya TV Tower yang menjulang dengan gagah membuat suasana malam makin memesona.

Kugigit bibir bawah saat mengalihkan tatapan mata dari langit di luar ke kedua tanganku sendiri yang saat ini tengah bertaut di atas pangkuan. Seharusnya memang aku berterima kasih pada Ilham. Dia mau menikahiku yang sudah 'bekas' ini, membantuku lari dari Papi dan keluarga busukku di Malang sana, serta membawaku hidup di kota yang cantik ini.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang